MAKLUMAT – Stabilitas sektor jasa keuangan nasional kembali diklaim aman. Dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan yang digelar 25 Juni 2025, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai sistem keuangan Indonesia tetap tangguh meski dunia sedang berhadapan dengan bayang-bayang resesi dan lonjakan tensi geopolitik dari kawasan Timur Tengah.
Laporan lembaga internasional terbaru seperti Bank Dunia dan OECD tak menampik pesimisme. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global memunculkan revisi turun untuk tahun 2025 dan 2026. Masalahnya klasik, tapi belum juga selesai: ketidakpastian geopolitik dan pemulihan yang penuh sandungan.
Namun di tengah sorotan global itu, kinerja perbankan nasional tetap menunjukkan sinyal stabilitas, meskipun ada beberapa catatan penting.
Kredit Tumbuh, Tapi Tak Merata
Sektor perbankan mencatat pertumbuhan kredit sebesar 8,43 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Mei 2025, sedikit lebih rendah dibanding April yang mencapai 8,88 persen. Total kredit yang disalurkan mencapai Rp7.997,63 triliun.
Dari jenis penggunaan, Kredit Investasi tumbuh paling agresif sebesar 13,74 persen. Kredit Konsumsi naik 8,82 persen, sementara Kredit Modal Kerja hanya tumbuh 4,94 persen yoy—sebuah indikator bahwa geliat dunia usaha belum sepenuhnya pulih.
Dari sisi pemilik modal, bank-bank dengan kepemilikan asing (KCBLN) justru mencatatkan laju tertinggi: tumbuh 11,61 persen yoy. Di segmen debitur, korporasi menyerap kredit paling besar dengan pertumbuhan 11,92 persen, sedangkan kredit UMKM tumbuh hanya 2,17 persen. Perlambatan di sektor UMKM cukup kontras, mengingat sektor tersebut sering mendapat penilaian tulang punggung ekonomi nasional.
OJK menyebut perbankan masih fokus pada pemulihan kualitas kredit UMKM pascapandemi. Tapi data ini sekaligus memperlihatkan ketimpangan pemulihan yang terus menganga.
Dana Pihak Ketiga Melambat
Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) juga mulai menurun. Pada Mei 2025, DPK tercatat tumbuh 4,29 persen yoy menjadi Rp9.072 triliun, lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 4,55 persen.
Menariknya, deposito menjadi pilihan yang makin tidak populer. Imbal hasil yang terbatas dan fleksibilitas yang kalah dari giro dan tabungan membuat nasabah mengalihkan dana ke instrumen lain. Termasuk ke pasar modal dan aset nonkonvensional yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi.
Industri perbankan secara umum masih memiliki bantalan likuiditas yang kuat. Rasio Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) berada di angka 110,33 persen dan Alat Likuid terhadap DPK di 24,98 persen.
Dua rasio ini masih jauh di atas ambang batas minimum regulator. Sementara itu, Liquidity Coverage Ratio (LCR) perbankan tercatat 192,41 persen—nyaman, setidaknya untuk saat ini.
Bukan Berarti Tanpa Risiko
Permodalan juga tetap tebal. Rasio kecukupan modal (CAR) mencapai 25,51 persen, cukup untuk menjadi bantalan bila ada guncangan eksternal. Namun, tak semua indikator bersih dari catatan.
Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tercatat naik tipis menjadi 2,29 persen (gross) dan 0,85 persen (net). Loan at Risk (LaR) yang menghitung potensi risiko kredit gagal bayar masih di angka 9,93 persen—stabil, tapi tetap tinggi jika perbandingannya periode sebelum pandemi.
Tren Buy Now Pay Later (BNPL) juga menarik perhatian. Meski porsinya masih kecil—hanya 0,27 persen dari total kredit perbankan—pertumbuhannya luar biasa cepat. Pada Mei 2025, baki debet kredit BNPL tumbuh 25,41 persen yoy menjadi Rp21,89 triliun, dengan 24,79 juta rekening tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
Fenomena ini mengindikasikan pergeseran pola konsumsi masyarakat dan perlu mendapat perhatian dari sisi mitigasi risiko jangka menengah.
Klaim stabilitas dari OJK bukan tanpa dasar. Namun stabilitas itu berdiri di atas fondasi yang terus-menerus mendapat ujian dari gejolak global. Juga persoalan ketimpangan pemulihan, serta pergeseran tren digital yang belum sepenuhnya bebas dari sisi risiko.
Kinerja perbankan memang masih tangguh, tapi bukan berarti tak rentan.