Pariwisata Berbasis Budaya: Inisiatif Pembangunan atau Dominasi Narasi Pemerintah?”

Pariwisata Berbasis Budaya: Inisiatif Pembangunan atau Dominasi Narasi Pemerintah?”

MAKLUMATPariwisata telah menjadi sektor unggulan dalam banyak strategi pembangunan daerah di Indonesia. Di tengah arus globalisasi dan desentralisasi, banyak pemerintah daerah berlomba-lomba mengangkat potensi lokal untuk menarik kunjungan wisatawan.

Salah satu pendekatan yang kini populer adalah pengembangan pariwisata berbasis budaya lokal. Budaya daerah tidak hanya diposisikan sebagai aset warisan leluhur, tetapi juga sebagai komoditas ekonomi yang dianggap mampu menyumbang pendapatan asli daerah (PAD).

Di Kabupaten Jember, sebagaimana tercermin dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Pemkab Jember 2024, pembangunan pariwisata difokuskan pada peningkatan jumlah kunjungan wisata serta pelibatan pemuda dalam pelestarian budaya lokal.

Dua misi utama yang dicantumkan pada bagian S37 dan S38 menunjukkan orientasi pemerintah dalam menjadikan budaya lokal sebagai daya tarik pariwisata. Namun, di balik semangat pembangunan ini, muncul pertanyaan kritis. Apakah strategi ini benar-benar bersifat partisipatif dan inklusif, ataukah justru mencerminkan bentuk dominasi narasi pemerintah atas ruang budaya masyarakat?

Penulis berpendapat bahwa pengembangan pariwisata berbasis budaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah, meskipun memiliki niat positif dalam mendongkrak ekonomi lokal, masih sangat sarat dengan pendekatan top-down.

Artinya, kebijakan ini lebih mencerminkan kepentingan institusi pemerintahan dalam membangun citra keberhasilan pembangunan, daripada memfasilitasi aspirasi dan kepemilikan masyarakat terhadap kebudayaan mereka.

Dominasi narasi pemerintah tampak jelas dalam cara perumusan dan distribusi kebijakan, penggunaan gaya bahasa teknokratik, serta penempatan masyarakat sebagai objek pembangunan, bukan subjek pengambil keputusan.

Analisis wacana kritis terhadap dokumen LKPJ Kabupaten Jember, khususnya bagian S37 dan S38, mengungkap sejumlah elemen yang memperkuat pendapat tersebut. Pertama, dari segi struktur teks dan pilihan kata, ditemukan dominasi narasi pembangunan melalui kata-kata seperti “meningkatkan”, “mengembangkan”, dan “melestarikan”, yang semuanya menunjuk pada upaya intensif pemerintah daerah.

Baca Juga  Meningkatkan Tata Kelola Guru: Pentingnya Dukungan Struktural dan Politik

Kalimat-kalimat yang digunakan sebagian besar aktif, dengan pemerintah sebagai subjek yang melakukan tindakan. Ini menciptakan citra institusi pemerintah sebagai aktor utama dan satu-satunya motor penggerak pembangunan pariwisata.

Kedua, dalam dimensi sosial, teks mencerminkan adanya relasi kuasa yang timpang. Pemerintah memiliki posisi dominan dalam mengarahkan peran masyarakat dan pemuda dalam kegiatan pembangunan. Masyarakat tidak digambarkan sebagai mitra sejajar, tetapi lebih sebagai pelaksana program-program yang telah dirancang dari atas. Dalam perspektif pembangunan partisipatif, hal ini tentu menjadi masalah serius karena menafikan prinsip inklusivitas.

Ketiga, dari sisi distribusi wacana, kebijakan ini disampaikan melalui dokumen resmi yang ditujukan kepada DPRD dan masyarakat. Tujuannya bukan hanya untuk menyampaikan hasil pembangunan, tetapi juga membentuk persepsi positif terhadap kinerja pemerintah. Ini memperkuat analisis bahwa ada kepentingan pencitraan institusional yang mendasari penyusunan teks.

Keempat, pada tingkat efek sosial, narasi semacam ini berpotensi mengkonstruksi pemahaman masyarakat bahwa pembangunan budaya sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Hal ini bisa mengurangi inisiatif warga untuk terlibat aktif secara mandiri.Mereka seperti merasa tidak memiliki ruang pengaruh yang memadai dalam proses pengambilan keputusan.

Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata berbasis budaya yang dirancang oleh pemerintah daerah lebih menekankan pada penguatan peran negara, bukan pada pemberdayaan masyarakat sebagai pemilik sah budaya lokal.

Tidak dapat disangkal bahwa inisiatif pemerintah untuk membangun sektor pariwisata melalui budaya lokal memiliki nilai strategis. Pembangunan infrastruktur, penyelenggaraan event budaya, dan pelibatan pemuda dalam kegiatan seni adalah langkah yang patut diapresiasi.

Baca Juga  Topo Broto di Ibu Kota Nusantara: Antara Kekuasaan dan Keterpaksaan

Banyak pihak berpendapat bahwa tanpa intervensi negara, pelestarian budaya akan berjalan lambat dan tidak efisien. Pemerintah juga dianggap memiliki kewenangan dan sumber daya yang cukup untuk menjaga kelangsungan tradisi lokal dalam arus modernisasi.

Namun, argumen ini perlu dilihat dalam kerangka berpikir kritis. Intervensi pemerintah yang tidak disertai mekanisme partisipasi sejati justru dapat menjadikan budaya sebagai alat politik. Alih-alih memperkuat identitas lokal, budaya dijadikan komoditas ekonomi yang kehilangan makna sosialnya.

Banyak festival atau pertunjukan budaya di daerah yang lebih ditujukan untuk memenuhi target kinerja instansi pemerintah ketimbang mendorong ekspresi kultural masyarakat. Refutasi terhadap klaim keberhasilan pembangunan ini juga dapat dilihat dari kurangnya indikator kualitatif dalam evaluasi kebijakan.

Sering kali, kesuksesan diukur hanya dari jumlah pengunjung atau kegiatan yang dilaksanakan, bukan dari dampak sosialnya terhadap pelaku budaya. Dalam konteks ini, pelibatan pemuda misalnya, sering kali bersifat simbolik saja: mereka diikutkan dalam kegiatan, tetapi tidak dilibatkan dalam proses perencanaan maupun evaluasi.

Berdasarkan analisis kritis terhadap teks LKPJ Kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pariwisata berbasis budaya di daerah tersebut masih dikelola dengan pendekatan top-down yang menempatkan pemerintah sebagai pusat kekuasaan.

Partisipasi masyarakat hanya sebatas pelibatan simbolik dalam kegiatan, bukan sebagai pengambil keputusan. Hal ini berpotensi mengurangi keberlanjutan dan kebermaknaan pembangunan budaya lokal.

Pergeseran Paradigma

Untuk itu, diperlukan pergeseran paradigma dalam pembangunan pariwisata berbasis budaya. Pertama, pemerintah harus membuka ruang partisipasi yang nyata bagi masyarakat adat, komunitas budaya, dan pemuda lokal dalam merancang program wisata.

Baca Juga  Politik Dramaturgi Ala Dedi Mulyadi

Kedua, indikator keberhasilan pembangunan harus mencakup aspek kualitatif seperti keberdayaan sosial, revitalisasi identitas lokal, dan rasa memiliki terhadap warisan budaya.

Ketiga, kegiatan pelestarian budaya harus bersifat dialogis, bukan sekadar administratif. Pemerintah perlu mendengar suara pelaku budaya secara langsung dan mendasarkan kebijakan pada kebutuhan nyata komunitas.

Keempat, penting untuk menciptakan ruang-ruang edukatif dan kreatif yang memungkinkan generasi muda memahami dan mengembangkan budaya lokal secara kritis dan inovatif.

Terakhir, transparansi anggaran dan evaluasi partisipatif juga harus menjadi bagian integral dari program pariwisata budaya agar keberhasilannya dapat dipertanggungjawabkan secara sosial.

Bukan Soal Proyek Fisik

Pembangunan pariwisata di Kabupaten Jember mengajarkan kepada kita pentingnya memahami bahwa pembangunan bukan hanya soal angka dan proyek fisik. Pembangunan adalah proses sosial yang melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan. Dalam konteks pariwisata berbasis budaya, masyarakat lokal harus menjadi aktor utama, bukan hanya pelengkap.

Pembelajaran penting lainnya adalah pentingnya pendekatan kritis dalam membaca teks-teks kebijakan publik. Narasi pemerintah sering kali dibungkus dengan bahasa teknokratik yang tampak netral dan progresif. Namun, di balik itu bisa tersembunyi relasi kuasa yang timpang dan kepentingan institusional yang kuat.

Sebagai generasi muda, kita perlu membekali diri dengan kemampuan literasi kritis agar dapat mendorong lahirnya kebijakan publik yang benar-benar berpihak pada rakyat. Budaya bukan hanya warisan, tetapi juga identitas kolektif yang harus dijaga bersama, dengan kesadaran, partisipasi, dan solidaritas. Dengan cara ini, pembangunan pariwisata dapat menjadi jalan menuju keadilan sosial dan pelestarian jati diri bangsa.***

*) Penulis: Maharani Dwi Saputri--Putra Janaz Alfinalis
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Muhammadiyah Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *