MAKLUMAT – Lahan pertanian di Jawa Timur setiap tahun mengalami penurunan. Hal ini memicu keprihatinan anggota DPRD Jatim. Penurunan lahan produktif ini harus segera diantisipasi agar tidak mengancam ketahanan pangan di Jawa Timur.
“Ini peringatan bagi sektor pertanian kita. Butuh langkah tegas mengantisipasi pengurangan lahan pertanian. Percuma program pertanian diintensifkan kalau lahan terus berkurang,” ujar Ketua Fraksi PDIP DPRD Jatim, Wara Sundary Renny Paramana, Senin (14/7/2025).
Ia mengungkap data, konversi lahan pertanian produktif di Jatim masih terjadi. Rata-rata 5.212 hektare per tahun. Utamanya bergeser menjadi perumahan, industri, dan jalan tol.
“Tanpa penguatan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), lumbung pangan desa, dan hilirisasi hasil pertanian rakyat, ketahanan pangan kita akan rapuh,” tegas Bunda Renny, sapaan akrabnya.
Ia menilai ini sangat ironis, karena sekitar 35% penduduk Jawa Timur masih menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Namun realitas di lapangan, tata ruang wilayah di beberapa daerah seringkali tidak konsisten diterapkan.
“Tata ruang harus konsisten dalam menopang ketahanan pangan. Itu urusan tata ruang wilayah masing-masing. Harus dipertahankan untuk pertanian, peternakan, dan ketahanan pangan,” tegas politisi asal Kediri ini.
“Harus tetap ada sanksi yang ditegakkan. Kalau tidak, lahan akan terus menyusut, masyarakat yang paling dirugikan,” lanjut Bunda Renny.
Anggota Komisi B DPRD Jatim Ony Setiawan menmbahkahkan, sebenarnya berbagai program teknis sudah dijalankan untuk menahan laju penyusutan lahan pertanian. Mulai dari intensifikasi, tumpangsari, optimalisasi lahan pekarangan, hingga pemanfaatan lahan di sekitar hutan bekerja sama dengan Perhutani.
“Ya itu secara teknis sudah dilakukan di Pulau Jawa, Jawa Timur khususnya, seperti intensifikasi, tumpangsari, dan pemanfaatan lahan sekitar hutan. Tapi kalau lahannya terus dikonversi ya ruwet lagi, wilayah hijau habis,” ujarnya.
Ony memberi contoh, Pemprov Jatim pada 2024 mengoptimalkan sekitar 80 ribu hektare sawah dengan pola tanam IP400 (empat kali tanam setahun) di daerah lumbung pangan seperti Lamongan, Bojonegoro, Jember, Banyuwangi, dan Madiun.
“Ini langkah antisipasi. Namun kalau RTRW daerah kota kabupaten masih tidak memihak pertanian. Ya habislah. Penopangnya tidak ada,” tegasnya.
Selain menjaga sawah lahan pertanian, Ony juga menekankan pentingnya diversifikasi usaha tani melalui pengembangan peternakan, agar lahan non-sawah tetap produktif. Namun akses bantuan ternak dinilai masih berbelit.
“Tidak semua lahan bisa jadi sawah, makanya diberikan kambing, sapi, dan ayam. Tetapi untuk mendapatkan bantuan ternak itu sangat sulit di lapangan,” pungkas Ony.