MAKLUMAT – Indonesia saat ini berada di peringkat ketiga dunia sebagai negara dengan kunjungan tertinggi ke aplikasi berbasis artificial intelligence (AI). Fakta itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno dalam sesi berbagi bersama sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Senin (14/7/2025).
Dalam pernyataannya, Pratikno menegaskan bahwa gelombang teknologi, khususnya AI, telah membawa disrupsi ke berbagai sektor kehidupan. Termasuk ranah yang menjadi fokus Kemenko PMK: keluarga dan kependudukan, kesehatan, pendidikan, karakter bangsa, hingga bencana dan konflik sosial.
Menurutnya, perkembangan teknologi membawa konsekuensi besar dalam pola hidup masyarakat. Di bidang kesehatan, misalnya, penggunaan gawai secara berlebihan membuat masyarakat cenderung minim bergerak.
Fenomena ini bukan hanya berdampak pada penurunan aktivitas fisik, tetapi juga menimbulkan masalah kesehatan mental akibat paparan informasi yang berlebihan.
“Screen time masyarakat Indonesia rata-rata mencapai 7,5 jam sehari. Ini bukan angka yang kecil,” ujar Pratikno.
Ia mengingatkan bahwa teknologi memang memberi peluang besar bagi yang mampu mengakses dan memanfaatkannya. Namun, bagi yang tertinggal, teknologi bisa menjadi jurang pemisah baru. “Teknologi memperbesar kesenjangan. Yang tidak siap akan jadi korban,” katanya.
Pendidikan di Era AI
Dalam bidang pendidikan, disrupsi AI tampak paling nyata. Dari aktivitas sederhana seperti mengecek tata bahasa, membuat ringkasan, hingga menyusun karya ilmiah, AI mulai menggantikan peran manusia. Bahkan, AI kini perlahan menggantikan fungsi mesin pencari tradisional.
Namun, kemudahan ini menyisakan catatan serius. Pratikno menyoroti bagaimana ketergantungan pada AI bisa mereduksi proses belajar kritis. Mahasiswa berisiko kehilangan kemampuan dalam berpikir analitis dan sintesis, membangun pengetahuan melalui eksplorasi, dan mempertajam rasa ingin tahu melalui proses bertanya yang alami.
“AI telah menurunkan interaksi antar manusia. Menghilangkan kecerdasan emosional, menyeragamkan pengalaman belajar, dan mengabaikan pemikiran nonkonvensional,” ungkapnya.

Teknologi Tak Harus Menunggu
Pratikno juga menyebut bahwa perbedaan paling mencolok antara disrupsi teknologi saat ini dengan masa lalu terletak pada kecepatan. Jika dulu butuh ratusan tahun bagi teknologi dari Eropa tiba di Indonesia, kini teknologi dari Silicon Valley hanya butuh hitungan hari untuk tiba di Indonesia.
“Sekarang, ketika Bill Gates merilis sesuatu, kita sudah bisa langsung pakai. Ini era konvergensi. Di mana AI jadi kekuatan transformatif yang menyentuh segala aspek kehidupan: politik, demokrasi, ekonomi, hingga pendidikan,” jelasnya.
Siapkan Generasi untuk Dunia yang Berubah
Menghadapi ombak besar perubahan ini, Pratikno mengajak UMM dan perguruan tinggi lain untuk tidak sekadar mengikuti arus. Ia mendorong agar pendidikan tinggi mampu menyiapkan lulusan untuk pekerjaan yang sudah hilang. Sekalius mencetak pekerjaan untuk masa depan yang belum pasti bentuknya.
“Kami di Kemenko PMK mengembangkan program Human-Centered AI. Teknologi tidak untuk menggantikan manusia, tetapi untuk memperkuat kapasitas dan menyelesaikan masalah nyata,” tegasnya.
UMM dan Transformasi Pendidikan
Rektor UMM, Prof. Nazaruddin Malik, menegaskan bahwa kampusnya tengah berada dalam fase transformasi untuk menjawab tantangan zaman. Menurutnya, teknologi bukan hanya alat bantu, tapi juga instrumen untuk membangun peradaban baru.
“UMM ingin menjadi kampus yang tidak hanya adaptif, tapi juga proaktif dalam menjawab kebutuhan masyarakat melalui pemanfaatan teknologi,” jelasnya.
Ia menyebut, transformasi bukan soal adopsi teknologi, tetapi juga rekonstruksi bidang-bidang keilmuan. Hal itu menurutnya penting agar program studi dan fakultas memiliki posisi strategis dalam memberi solusi bagi bangsa.
Memanusiakan Teknologi
Di tengah derasnya arus inovasi, teknologi dan AI tak bisa dielakkan. Namun, seperti paparan Pratikno, peran manusia tetap sentral. Tantangannya bukan semata pada bagaimana menguasai teknologi, tetapi bagaimana memanusiakan penggunaannya.
Teknologi bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk memperkuat kemanusiaan. Dan dalam pusaran disrupsi ini, kampus—termasuk UMM—didorong untuk menjadi jangkar perubahan, agar teknologi benar-benar mampu menciptakan masa depan yang inklusif dan berkeadaban.