Aku, Senja, dan Makna: Semiotika Kesendirian dalam Simfoni Waktu

Aku, Senja, dan Makna: Semiotika Kesendirian dalam Simfoni Waktu

MAKLUMAT — Apa yang tersisa ketika percakapan mereda, langkah-langkah pelan, dan suara dunia menjadi gema samar? Dalam senja yang turun perlahan di beranda kehidupan, cahaya tidak padam, hanya melembut. Di titik itu, kita dihadapkan pada tanya yang tak terhindarkan: Apakah hidup sendiri di ujung usia adalah kekosongan, atau justru ruang sunyi tempat makna mengendap paling pekat?

Harun Ahmad
Harun Ahmad

Tulisan ini adalah sebuah upaya memaknai kesendirian bukan sebagai sisa, melainkan sebagai simfoni yang mengalun pelan—tak lagi bergemuruh, tapi tetap utuh. Sebuah pembacaan semiotik terhadap tanda-tanda sunyi, pada usia yang tak lagi muda, dan hidup yang tidak lagi ramai.

Kesendirian sebagai Simfoni: Musik yang Tak Bersuara Nyaring

Kesendirian sering dibaca sebagai kehampaan. Namun sebenarnya, ia lebih mirip musik kamar—halus, personal, dan mendalam. Ia tak menggelegar seperti simfoni agung, tetapi justru menyentuh jiwa dengan denting-denting kecil yang nyaris tak terdengar. “Ada melodi yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang tak lagi ramai oleh dunia,” tulis seorang penyair tua di buku hariannya yang lapuk oleh waktu. Di sini, diam bukan berarti tidak ada suara, melainkan bunyi yang hanya dimengerti oleh mereka yang telah berani merangkul kesendirian.

Dalam filsafat musik, John Cage pernah menciptakan karya berjudul 4’33”, sebuah komposisi tanpa satu pun nada dimainkan—karena dalam diam itu sendiri, dunia tetap bersuara. Begitu pun kesendirian: diamnya menyimpan dunia. Seperti Cage, kita mulai mengerti bahwa “kesunyian pun memiliki nada.”

Baca Juga  Godaan Terberat Para Pejuang

Simbol dan Tanda: Semiotika Sunyi di Ujung Waktu

Mari kita amati simbol-simbol kecil dalam rumah seorang yang menua dalam kesendirian. Secangkir teh yang diseduh tiap pagi, kursi goyang yang berayun perlahan di teras, buku usang yang dibaca berulang kali, atau pandangan mata yang jauh menembus jendela. Semua itu bukan kebiasaan kosong, melainkan tanda—tanda yang membawa makna dalam diam.

Charles Sanders Peirce menyebut tanda sebagai sesuatu yang mengacu pada hal lain dalam pikiran kita. Maka, secangkir teh bukan sekadar minuman, melainkan perayaan kecil atas masih berjalannya waktu. Kursi goyang bukan sekadar tempat duduk, melainkan ruang hening tempat kenangan datang dan pergi.

Roland Barthes mengajarkan bahwa makna tidak pernah tunggal; ia terbuka, cair, dan terus dibentuk oleh pembaca. Dalam semangat itu, kita pun membaca kesendirian orang tua bukan sebagai derita, tetapi sebagai narasi pribadi yang terus ditulis ulang setiap hari, lewat gerak-gerik yang nyaris tak tampak.

Menyulam Makna: Kesendirian sebagai Ruang Bertumbuh

Kesendirian bukanlah kekalahan. Ia adalah ruang retret, tempat jiwa kembali merawat luka-luka lama, mendengar suara hati yang terlupakan, dan menata ulang rasa sayang terhadap diri sendiri. Dalam kesendirian, seseorang akhirnya memaafkan masa lalu—baik orang-orang yang pernah pergi, maupun diri sendiri yang pernah kecewa.

Seperti yang pernah ditulis oleh Carl Jung, “Siapa yang melihat ke luar, bermimpi. Siapa yang melihat ke dalam, terjaga.” Maka dalam keheningan, jiwa menemukan ritmenya yang paling jujur. Tidak ada lagi topeng, tidak ada lagi tuntutan untuk membahagiakan semua orang—hanya ada kebenaran personal yang sederhana, tapi mendalam: menjadi cukup, meski hanya dengan diri sendiri.

Baca Juga  Menyikapi Ketidakpastian Global dan Pelemahan Daya Beli; Tantangan dan Peluang Perbankan Syariah Indonesia

Kesendirian sebagai Pilihan Cinta

Tidak semua kesendirian lahir dari ditinggalkan. Ada yang memilih sendiri karena tak ingin menyakiti, atau karena sudah lelah berharap pada cinta yang tak pernah kembali. Di antara kita, ada yang menetap dalam sunyi karena sadar: cinta sejati tak selalu datang dalam rupa manusia lain, tapi dalam bentuk ketulusan terhadap hidup yang sudah dijalani sepenuh hati.

Dalam semiotika cinta versi kesendirian, tanda-tanda kasih tidak lagi berupa genggaman tangan, tapi dalam bentuk kesetiaan: memasak untuk diri sendiri, menyimpan foto keluarga, menulis puisi yang tak pernah dipublikasikan. Semua itu adalah cara mencintai yang tidak menggantungkan. Itulah cinta yang tak menuntut balas, dan karenanya, justru paling murni.

Harmoni yang Tidak Bersuara: Epilog Keheningan

Aku berdiri di ujung hari, menyanyikan nyanyian yang hanya bisa didengar oleh mereka yang pernah sendiri. Demikianlah senja menjadi teman yang setia, bukan untuk membawa pulang terang, tapi untuk menemani kita menutup hari dengan damai. Kesendirian di usia senja bukanlah kehilangan, tetapi keutuhan yang datang dengan bentuk berbeda. Ia adalah komposisi terakhir dalam musik kehidupan, tempat kita memainkan nada-nada pelan yang tidak didengar orang lain, tapi terasa sampai ke kedalaman jiwa.

Karena hidup tidak harus selalu gaduh. Kadang, justru dalam sunyilah, kita akhirnya benar-benar mendengar—dan akhirnya mengerti.

Baca Juga  Merdeka yang Belum Merdeka

Rujukan

  1. Cage, J. (1961). Silence: Lectures and Writings. Wesleyan University Press.
  2. Peirce, C. S. (1931–1958). Collected Papers of Charles Sanders Peirce. Harvard University Press.
  3. Barthes, R. (1977). Image-Music-Text. Fontana Press.
  4. Jung, C. G. (1961). Memories, Dreams, Reflections. Vintage.
*) Penulis: Harun Ahmad
Kepala Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia (P2SDM) Universitas Insan Budi Utomo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *