Muhammadiyah-FSGI Protes Dedi Mulyadi; Kebijakan Kuota 50 Siswa Per Kelas Berdampak Langsung ke Sekolah Swasta

Muhammadiyah-FSGI Protes Dedi Mulyadi; Kebijakan Kuota 50 Siswa Per Kelas Berdampak Langsung ke Sekolah Swasta

MAKLUMAT — Muhammadiyah dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memprotes kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menetapkan jumlah siswa per kelas maksimal 50 orang. Muhammadiyah menilai kebijakan tersebut berdampak langsung pada sekolah dasar hingga menengah yang mereka kelola.

Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jabar, Iu Rusliana, menyebut keputusan itu membuat jumlah pendaftar ke sekolah-sekolah Muhammadiyah menurun, termasuk di sekolah-sekolah favorit.

“Secara umum bisa dikatakan kami sangat terdampak kebijakan tersebut di beberapa sekolah,” ucap Iu kepada Republika, Senin (14/7).

Ia mencontohkan kondisi di beberapa daerah seperti Sukabumi, Depok, hingga Garut. Di salah satu SMK Muhammadiyah di Garut, misalnya, dari 206 lulusan hanya 153 siswa yang mendaftar kembali. Di SMK Muhammadiyah 1 Cikampek, jumlah pendaftar juga menurun dari 789 lulusan menjadi hanya 642 siswa.

Namun begitu, Iu menyebut masih ada sekolah di Cirebon yang jumlah siswanya relatif stabil.

Menurutnya, penurunan ini cukup mengkhawatirkan karena biaya pendidikan dari siswa sangat penting untuk mendukung operasional sekolah swasta.

“Kami berharap pemerintah kalau mau ngambil kebijakan dikaji dulu mendalam. Jangan seenaknya, karena kami ini swasta yang sudah berjuang sejak zaman kemerdekaan. Bahkan Muhammadiyah sudah lebih dulu ada sebelum Indonesia merdeka,” ujarnya.

Ia pun mendesak agar Pemprov Jabar lebih menghargai peran sekolah swasta yang selama ini menjadi mitra pemerintah dalam menampung siswa-siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri.

Baca Juga  Pancasila Tak Bertentangan dengan Ajaran Islam

Kebijakan menambah kuota rombongan belajar (rombel) hingga 50 siswa per kelas ini memang disebut-sebut untuk menekan angka putus sekolah. Namun menurut Iu, hal itu harus dibarengi dengan pertimbangan kualitas.

“Kalau satu kelas 50 siswa, bagaimana kualitas belajarnya? Harusnya KDM konsultasi dulu dengan pakar pendidikan. Banyak kok kampus bagus di Jawa Barat yang bisa diajak diskusi,” tambahnya.

Dedi Siap Dihujat

Menanggapi berbagai kritik, Gubernur Dedi Mulyadi memilih pasang badan. Ia mengaku siap dihujat, dikritik, bahkan digugat demi masa depan pendidikan anak-anak Jawa Barat.

“Pemimpin itu harus siap menerima hujatan, kritikan, tuntutan bahkan gugatan. Saya memetik pelajaran dari para pendiri bangsa, bahwa memimpin itu menderita,” ucap Dedi, Sabtu (12/7).

Ia menyebut kebijakan tersebut hanya bersifat tentatif, khususnya untuk daerah-daerah yang kekurangan fasilitas pendidikan.

“Kalau satu SMA negeri kuotanya 480 siswa, sementara yang mendaftar 500 orang, maka ke-20 siswa ini harus tetap diterima. Jangan sampai mereka putus sekolah hanya karena tidak tertampung,” kata Dedi.

Targetnya, tiga tahun ke depan Jawa Barat harus bebas dari angka putus sekolah. Mengenai dampak kebijakan itu terhadap sekolah swasta, Dedi menyebut akan duduk bersama membahas solusi terbaik.

FSGI: Beban Guru Terlalu Berat

FSGI  juga mengkritik kebijakan KDM ini. Sekjen FSGI Fahriza Marta Tanjung menilai, guru akan kewalahan jika harus mengajar 50 siswa dalam satu kelas.

Baca Juga  Nazaruddin Malik: Muhammadiyah Jadi Penengah, Bukan Menjauh dari Politik

“Jelas sangat mempengaruhi kualitas pembelajaran. Bagaimana mungkin seorang guru bisa melaksanakan pembelajaran dan penilaian dengan baik jika siswa yang dihadapi sampai 50 orang dalam satu kelas?” tegas Fahriza, Senin (14/7).

Ia menjelaskan, satu guru PKN misalnya, harus mengajar 12 kelas agar memenuhi syarat minimal 24 jam pelajaran (JP) per minggu.

“Dengan 36 siswa per kelas, maka ia akan berhadapan dengan 432 siswa per minggu. Kalau 50 siswa per kelas, berarti 600 siswa. Itu beban yang sangat berat,” tambahnya.

Fahriza juga menyoroti bagaimana guru dituntut untuk mengenal karakter siswa secara individu sesuai dengan kurikulum saat ini.

“Kalau seperti ini, proses belajar bisa jadi hanya formalitas. Tidak akan maksimal. Posisi guru semakin memprihatinkan,” tandasnya.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *