13 Kitab Klasik yang Jadi Dasar Fatwa Haram Sound Horeg

13 Kitab Klasik yang Jadi Dasar Fatwa Haram Sound Horeg

MAKLUMATFatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 tentang penggunaan sound horeg disusun dengan merujuk pada berbagai referensi keilmuan Islam. Dalam dokumen fatwa tersebut, bagian “Memperhatikan” memuat 18 poin, di mana 13 poin pertama merupakan rujukan langsung pada pandangan ulama dan kitab-kitab klasik.

Pertama, pandangan Syekh Hasanain Makhluf, seorang mufti Al-Azhar, menyebutkan bahwa setiap cara yang dapat mencegah seseorang dari kebinasaan maka hukumnya wajib secara syar’i. Pandangan ini merujuk pada firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 195 tentang larangan menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan.

Kedua, dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (jilid 4, hlm. 388), dijelaskan bahwa seseorang harus menggunakan haknya sesuai dengan syariat, tidak boleh menyalahgunakannya, serta tidak boleh merugikan orang lain, baik secara sengaja maupun tidak.

Ketiga, al-Bujairami ‘ala al-Manhaj (jilid 10, hlm. 272) menyebutkan bahwa tindakan yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat diperbolehkan meskipun menimbulkan sedikit kerugian. Namun, jika bertentangan dengan kebiasaan dan merugikan pihak lain, maka tindakan itu dilarang.

Keempat, dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (jilid 4, hlm. 394) ditegaskan bahwa penggunaan hak dengan cara yang tidak lazim dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang.

Kelima, Hasyiah al-Syarwani (jilid 2, hlm. 57) menegaskan bahwa haram hukumnya mengeraskan suara di dekat orang yang terganggu karenanya. Sebagian ulama menyatakan hukumnya makruh jika gangguannya belum pasti terjadi.

Baca Juga  Lazismu Siapkan Program Ramadan 1446 H; Usung Tema Zakat Memakmurkan Semua

Keenam, Qalaid al-Kharaid (jilid 2, hlm. 356) menyebutkan bahwa mencegah dan menghilangkan gangguan yang membahayakan orang lain adalah kewajiban. Termasuk di antaranya suara keras yang mengganggu ketertiban dan ketenangan masyarakat.

Ketujuh, Tuhfah al-Muhtaj (jilid 25, hlm. 173) menjelaskan bahwa bila seseorang menggunakan haknya secara berlebihan hingga menimbulkan kerugian, maka ia wajib memberikan ganti rugi, baik karena kerugian itu pasti terjadi maupun didasarkan pada dugaan kuat.

Kedelapan, dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (jilid 7, hlm. 559–563), dibahas tentang tanggung jawab atas perbuatan yang menimbulkan kerusakan. Baik pelaku langsung maupun penyebab tidak langsung dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai kontribusinya terhadap kerusakan.

Kesembilan, Kifayah al-Akhyar (hlm. 930) menegaskan bahwa menutup aurat adalah kewajiban mutlak, bahkan ketika sendirian dan dalam kegelapan. Sebab, Allah lebih berhak untuk dijaga rasa malu kepada-Nya.

Kesepuluh, Is’ad al-Rafiq (jilid 2, hlm. 67) menyatakan bahwa percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu perkumpulan sangat dilarang karena berpotensi menimbulkan kerusakan dan fitnah.

Kesebelas, masih dalam Is’ad al-Rafiq (jilid 2, hlm. 67), dijelaskan bahwa termasuk kategori maksiat adalah merasa senang dan merelakan terjadinya kemaksiatan, baik berasal dari dirinya sendiri maupun orang lain.

Keduabelas, Imam Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasfa (jilid 1, hlm. 438) menjelaskan bahwa kemaslahatan adalah perlindungan terhadap tujuan-tujuan syariat, yang mencakup lima hal: perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Baca Juga  Soal Sound Horeg, MUI Jawa Timur Minta Hal Ini Kepada Penyedia Jasa Hingga Event Organizer

Ketigabelas, dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (jilid 2, hlm. 122), ditegaskan bahwa penguasa dan wakilnya wajib mengambil kebijakan terbaik demi menolak bahaya dan kerusakan, serta untuk mendatangkan kemanfaatan bagi rakyat.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *