Kenapa Kembali ke Pancasila dan UUD 1945, Menjawab Tantangan Nasional dan Global

Kenapa Kembali ke Pancasila dan UUD 1945, Menjawab Tantangan Nasional dan Global

MAKLUMAT — Tema ini saya katakan strategis dan menantang karena menyangkut masa depan bangsa, negara, serta anak cucu kita. Tema ini berdimensi global karena memiliki keterkaitan kuat dengan tatanan internasional, terutama akibat pergeseran geopolitik dari kawasan Atlantik ke Asia Pasifik.

Gejolak politik, ekonomi, dan militer dunia telah menghasilkan peralihan dari rezim unipolar menuju rezim multipolar. Peta kekuatan internasional menyajikan ketidakpastian, kompleksitas, dan ketidakteraturan dalam hal pengaruh, dominasi, dan hegemoni. Maka, setiap negara ditantang untuk menjawab kondisi tersebut sesuai dengan fondasi, visi, dan misi negaranya masing-masing, dengan tetap mengutamakan kepentingan bangsanya.

Pancasila
Ilustrasi kembali pada Pancasila dan UUD 1945. Foto dibuat SORA

Indonesia dinilai oleh banyak entitas global sebagai episentrum dalam pergeseran tersebut. Ini disebabkan oleh posisi geostrategis Indonesia yang berada di antara dua samudra dan dua benua, kekayaan alam yang melimpah, pasar potensial karena demografi, dan daya tarik sebagai tempat berputarnya modal global.

Namun di sisi lain, kita juga menyaksikan paradoks: masih banyak rakyat miskin, segelintir elite menguasai lebih dari 50 persen kekayaan nasional, harga kebutuhan pokok melonjak, terjadi gelombang PHK, daya beli menurun, lapangan kerja menyempit, dan utang negara terus membengkak.

Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Ada paradoks yang nyata menghantui Ibu Pertiwi.

Lalu, kenapa kita perlu kembali ke Pancasila dan UUD 1945?

Karena sejak UUD 1945 diamandemen empat kali antara tahun 1999–2002 oleh oknum reformis, konstitusi kita berubah drastis menjadi materialis-hedonis, individualis, liberal, dan kapitalistik. Di situlah akar masalahnya. Bahkan, praktik konstitusi saat ini telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi dan sebagai philosophische grondslag (landasan filsafat) bangsa Indonesia.

Baca Juga  Pancasila Tak Bertentangan dengan Ajaran Islam

Sebagai Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP, saya melihat adanya kebutuhan mendesak untuk merevitalisasi kehidupan nasional berbasis Pancasila. Sebab, Pancasila sebagai ideologi bangsa harus menjadi benteng pertahanan dan ketahanan nasional dalam menghadapi tantangan, ancaman, serta gangguan global.

Apa yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 pada tahun 1999–2002 bukanlah penyempurnaan, melainkan penggantian konstitusi. Menurut Prof. Kaelan dari UGM, 97 persen pasal-pasal dalam batang tubuh UUD telah diganti, bagian penjelasan dihapus, dan antara Pembukaan serta Batang Tubuh kini tidak lagi menyatu.

Dengan demikian, UUD NRI 1945 atau yang sering disebut sebagai UUD 2002 telah mendistorsi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Amandemen tersebut bukan hanya merusak sistem kenegaraan, tetapi juga menghancurkan modal sosial, politik, ekonomi, dan kultural bangsa.

Ketika UUD NRI 1945 disahkan pada 10 Agustus 2002, sejak saat itulah rakyat kehilangan kedaulatannya. Hal ini ditandai oleh:

  1. Turunnya status MPR RI dari Lembaga Tertinggi menjadi hanya Lembaga Tinggi negara setara BPK, MK, DPR, dan DPD.

  2. MPR RI tak lagi menjadi penjelmaan kedaulatan rakyat karena hanya terdiri dari anggota DPR dan DPD. Utusan Golongan dan Daerah telah dihapus.

  3. Tidak adanya lagi GBHN sebagai peta jalan pembangunan nasional.

  4. Pasal 6A Ayat (2) yang menjadikan partai politik sebagai satu-satunya entitas pemegang kekuasaan di republik ini.

  5. Kerancuan makna otonomi daerah dan inkonsistensi dalam Pasal 33 Ayat (4) yang malah menjurus ke korporatisme dan meluruhkan ekonomi konstitusi yang berpijak pada Pembukaan UUD 1945.

Praktik UUD NRI 1945 telah mengubah kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Dampaknya adalah politisasi di semua lini kehidupan, yang memunculkan intervensi, kriminalisasi, kapitalisasi, dan ketimpangan hukum. Presiden bahkan memaknai kekuasaan sebagai “I am the law,” melahirkan authoritarian legalism, di mana hukum bisa diperjualbelikan dan keadilan sosial hanya milik penguasa politik dan bisnis.

Baca Juga  Kebaikan di Dunia Politik

Saudara-saudara sekalian,

Bangsa ini ibarat orang yang telah tersesat jauh akibat meninggalkan konstitusi warisan para pendiri bangsa. Banyak propaganda disebarkan, misalnya bahwa kembali ke UUD 1945 sama saja dengan kembali ke Orde Baru. Itu adalah pandangan yang salah besar. Baik Orde Lama maupun Orde Baru belum pernah melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Justru pada era Reformasi, penyimpangan dilakukan secara brutal melalui sistem bernegara.

Perlu dicatat, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara de jure masih berlaku karena MPR periode 1999–2004 tidak pernah mencabutnya. Bahkan Ketetapan MPR tersebut menyamakan kedudukan UUD 2002 dengan UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali oleh Dekrit Presiden serta dikukuhkan DPR pada 22 Juli 1959.

Artinya, UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945 adalah naskah asli. Ini menjawab keraguan publik yang mempertanyakan keberadaan UUD naskah asli. Namun, pemberlakuan dua konstitusi secara bersamaan justru melahirkan kerancuan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara.

Saya berharap, peringatan Dekrit Presiden 1959 yang dilakukan di Jayabaya menjadi momentum kebangkitan untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli. Namun, proses ini tidak boleh setengah-setengah. Misalnya, kembali ke UUD naskah asli tetapi pemilu presiden masih dilakukan langsung, atau MPR hanya diaktifkan untuk merumuskan GBHN—ini justru memperparah kebingungan sistemik.

Kaji ulang konstitusi harus dimulai dengan kembali ke naskah asli UUD 1945 sebagaimana rumusan pendiri bangsa. Perubahan dan penyempurnaan selanjutnya dapat dilakukan dalam bentuk adendum. Sebab, UUD 1945 bukan kitab suci yang tak bisa diubah, tapi perubahan harus diletakkan dalam lampiran, dengan batu uji adalah UUD 1945 naskah asli, bukan UUD 2002.

Baca Juga  Melindungi Anak, Merawat Masa Depan: Perspektif Sosiologis atas Kebijakan Jam Malam

Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada masa lalu tanpa naskah akademik, tanpa pelibatan rakyat, dan mengandung banyak inkonsistensi teoritis serta yuridis, tak layak dijadikan referensi. Maka, batu uji penyempurnaan ke depan harus merujuk pada UUD 1945 Naskah Asli.

Akhir kata, saya ingatkan bahwa NKRI didirikan dengan semangat wa laa tafarraqu — janganlah kamu bercerai-berai. Itu bukan sekadar ayat, melainkan petunjuk praktis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Agama tidak memerintahkan bentuk negara, tapi memberikan prinsip-prinsip luhur seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keberpihakan pada kaum lemah.

Semoga simposium ini menjadi daya ungkit bagi seluruh elemen bangsa untuk menyatukan langkah menuju tegaknya kedaulatan rakyat dan kembali ke Pancasila serta UUD 1945 warisan pendiri bangsa.

Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, meridhai niat dan memberkahi langkah kita.

* ) Naskah di atas merupakan pidato Ketua Presidium Konstitusi 1945, Wapres RI ke-6, Panglima ABRI ke-9. Pidato disampaikan pada acara simposium memperingati Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di Universitas Jayabaya, Jakarta, 15 Juli 2025.  ****

*) Penulis: Try Sutrisno
Ketua Presidium Konstitusi 1945 Try Sutrisno

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *