MAKLUMAT — Netizen Indonesia bereaksi keras setelah Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara kepada mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong. Mereka tidak tinggal diam. Lewat media sosial, terutama X yang dulunya bernama Twitter, mereka menyuarakan kekecewaan, kemarahan, dan dukungan.
Sebagian menilai kasus ini sebagai kriminalisasi politik. Sebagian lainnya melihatnya sebagai bukti bahwa sistem keadilan tidak berjalan adil bagi semua orang. Akun @NFaisal07 menulis dengan nada getir, “Salahnya Pak Tom karena mendukung Anies. Coba kalau masih di lingkaran Joko##, pasti aman.” Cuitan ini langsung menyulut percakapan. Banyak yang mengaitkan hukuman Tom dengan konstelasi politik menjelang Pilpres 2029.
Akun @ImminentAdi5 mengingatkan kembali pada ajaran Bung Hatta. “Bukannya Bung Hatta bilang sendi perekonomian harus koperasi?” tulisnya. Lalu ia menambahkan dengan sinis, “Ngarep rezim ini nyampe ke level otak Bung Hatta? Goblok gue.”
Komentar lain datang dari @arismaya yang mengutip peraturan negara, “Dalam UU Cipta Kerja dan PP 7/2021, pemerintah justru wajib menyediakan 40% belanja negara untuk koperasi.” Ia mempertanyakan logika hukum yang menjerat Tom, padahal negara sendiri mendorong peran koperasi.
Netizen lain mempertanyakan konsistensi hukum. “Baru kali ini Pak Tom diseret ke pengadilan. Padahal banyak yang lebih jelas-jelas KKN masih nyaman menjabat,” tulis akun @YOGIBUDIHARTO. Ia menyayangkan tebang pilih dalam penegakan hukum.
Kritik tajam juga datang dari @Pedjoeangx yang mencurigai vonis ini berkaitan dengan kenaikan gaji hakim. “Hari ini, hakim-hakim diuji: apakah kenaikan gaji 280% bisa menjamin integritas, atau justru menjadi bukti adanya mufakat jahat dengan rezim?” tulisnya.
Sebagian netizen menilai Tom sebagai korban politik. Akun @abadi_pusa99469 menyebut, “Komunis Solo ingin menghancurkan reputasi Pak Tom agar Anies tak bisa berlaga di Pilpres 2029.” Ia juga menyebut “Dinasti Fufufafa” sebagai sasaran perlawanan. “Tapi Tuhan bersama orang jujur dan sabar,” lanjutnya.
Akun @rio_sanyoto menulis dengan gaya satire, “Di bawah sihir Mulyondol, semua tunduk pada harta dan kuasa. Para penjilat tetap patuh demi kedudukan.” Ia menggambarkan situasi politik dengan getir dan penuh sindiran.
Netizen lain mencoba menyemangati Tom. “Halo Pak Tom, saya tahu betul bagaimana hukum di negeri ini. Kalau lawan lebih kuat, jungkir balik pun percuma,” tulis akun @inthemorn94502.
Akun @Namaku_Doaku menulis dukungan penuh. “Kami tetap di barisan akal sehat. Kami masih rindu perubahan. Kami masih bersama tim yang menang.” Ia menyatakan keyakinannya bahwa Tom masih layak mendapat kepercayaan publik.
Tak sedikit pula yang mengutuk sistem hukum secara langsung. Akun @Ginakyo2 menulis penuh emosi, “Semoga Tuhan melaknat mereka yang berkhianat pada negara ini. Tuhan tidak tidur. Mereka akan dihancurkan sejadi-jadinya!”
Di sisi lain, @IsmailTeguh3 mengirim doa. “Nunggu mereka mati cepat, Pak Tom. Anda hanya dikriminalisasi. Sabar saja. Tak ada yang abadi. Mereka dibatasi umur.” Kalimat itu terdengar keras, tapi mencerminkan amarah dan frustrasi publik terhadap sistem hukum.
Akun @Iwan1990red ikut menyuarakan kecurigaan terhadap aparat penegak hukum. “Curigai juga jaksa ‘titipan’, tuduhannya aneh-aneh,” tulisnya.
Sementara itu, di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Tom Lembong menerima vonis dengan kepala tertunduk. Tak ada senyum yang biasa ia lemparkan di panggung-panggung investasi. Ia diam, seperti menelan kepahitan yang lebih keras dari sekilo gula.
Hakim menyatakan Tom terbukti menyalahgunakan kewenangan sebagai Menteri Perdagangan dalam pemberian izin impor gula. Ia memberikan izin kepada dua koperasi—Inkopkar dan Inkoppol—yang kemudian bermitra dengan pihak swasta.
Hakim menilai tindakan Tom lebih mengutamakan kepentingan bisnis ketimbang keadilan sosial. Ia dianggap abai terhadap harga pasar dan gagal menjaga prinsip ekonomi Pancasila.
Namun, hakim juga mencatat hal yang meringankan: Tom belum pernah dihukum, bersikap sopan selama sidang, tidak menikmati hasil korupsi, dan telah menitipkan uang pengganti kerugian negara.
Meski begitu, publik tetap memandang vonis ini sebagai isyarat yang lebih besar. Banyak netizen menyebut hukuman Tom sebagai bagian dari peta politik yang lebih luas. Mereka tak lagi bicara soal gula semata, tapi soal keadilan, kekuasaan, dan arah perubahan bangsa.
Dan ketika pintu tahanan tertutup, suara netizen tetap bergema. Mereka tidak bungkam. Mereka menulis, mencuit, menyemangati, dan bertanya: apakah hukum masih berpihak pada kebenaran?
Untuk banyak orang, Tom Lembong bukan sekadar mantan menteri. Ia kini simbol dari sesuatu yang lebih besar—dan lebih getir. Mungkin juga kelak jadi simbol perlawanan terhadap tirani kekuasaan.***
Comments