MAKLUMAT — Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Sosial (Kemensos) Robben Rico menyampaikan bahwa 63 persen dari total Sekolah Rakyat yang direncanakan pemerintah telah beroperasi. Hingga 14 Juli 2025, sebanyak 63 dari 100 sekolah telah aktif dan menjangkau 9.705 anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem di seluruh Indonesia.
Hal itu disampaikan Robben dalam media briefing bertajuk “Menembus Batas Lewat Sekolah Rakyat” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Digital di Balai Pers Nasional, Surakarta, Ahad (20/7/2025). Ia menegaskan bahwa Sekolah Rakyat bukan program dari kementerian semata, melainkan mandat langsung dari Presiden Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025.
“Program Sekolah Rakyat bukan program Kementerian Sosial, tapi program riil dari Bapak Presiden, yang diamanahkan kepada kami melalui Inpres Nomor 8/2025. Jadi kami ini ibaratnya diminta untuk jadi tim kesebelasan. Owner kesebelasan ini Pak Presiden, kebetulan kami diminta jadi kapten tim kesebelasan itu,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip dari laman resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB).
Menurut Robben, Sekolah Rakyat hadir sebagai jawaban atas darurat pendidikan yang masih melilit banyak anak Indonesia. Ia memaparkan bahwa terdapat 227 ribu anak usia SD yang belum pernah sekolah atau sudah putus sekolah. Angka itu melonjak tajam di jenjang SMP menjadi 499 ribu anak, dan mencapai 3,4 juta anak di jenjang SMA. “Sebetulnya kesimpulannya kan pengangguran terselubung. Apa mungkin bisa bekerja tanpa punya ijazah SMA. Nah itulah yang kemudian ingin kita selesaikan,” tegasnya.
Provinsi Jawa Tengah sendiri tercatat sebagai wilayah dengan tingkat putus sekolah tertinggi kedua untuk jenjang menengah. Terdapat 44,8 ribu anak usia SMP dan 464 ribu anak usia SMA yang tidak lagi melanjutkan pendidikan di provinsi tersebut. Angka ini setara dengan sekitar 9 persen di jenjang SMP dan 13,6 persen di jenjang SMA dari total nasional.
Berbeda dengan kebanyakan sekolah, pada Sekolah Rakyat mengadopsi format boarding school. Anak-anak tidak hanya mendapatkan pendidikan akademik, tapi juga pembentukan karakter dan penguatan kepercayaan diri. Proses rekrutmen dilakukan dengan pendekatan langsung berdasarkan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN). Tim pemerintah bahkan menjemput anak-anak dari daerah-daerah terpencil.
Robben membagikan pengalamannya saat mencari anak-anak di Katingan, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. Ia mengatakan bahwa banyak dari mereka merasa rendah diri karena kondisi keluarga.
“Saya ke Katingan, Kalimantan Timur dan Maluku Utara untuk mencari anak-anak ini. Saya ajak bicara enggak ada yang berani lihat mata saya dan bisanya cuma nangis, malu. Padahal cita-citanya ingin jadi guru pendidikan agama Islam, (tapi) ibunya tidak mampu,” tuturnya.
Saat ini, distribusi Sekolah Rakyat mencakup Jawa (48 sekolah), Sumatera (22), Sulawesi (15), Bali (4), Nusa Tenggara (4), Kalimantan (4), Maluku (4), dan Papua (3). Sisa 37 sekolah lainnya ditargetkan akan beroperasi pada akhir Juli atau awal Agustus.
Setiap siswa menerima fasilitas dasar seperti seragam, sepatu, perlengkapan mandi, pembalut bagi siswi, makanan bergizi tiga kali sehari, serta pemeriksaan kesehatan dan pemetaan bakat sejak hari pertama. Proses belajar mengajar pun memanfaatkan teknologi seperti smartboard, laptop, dan Learning Management System (LMS). Adapun kurikulumnya menggabungkan standar akademik nasional dan penguatan karakter.
Robben menjelaskan bahwa Sekolah Rakyat dirancang dengan tiga prinsip utama, yaitu memuliakan wong cilik, menjangkau yang belum terjangkau, dan memungkinkan yang tidak mungkin. Ia menekankan pentingnya membangkitkan kembali harapan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu. “Alhamdulillah dengan beroperasinya Sekolah Rakyat mereka menjadi punya harapan dan punya mimpi,” tandasnya.