Pantang Mundur! Ini Cara Maestro Batik Pekalongan Tembus Pasar Meski Ditolak 100 Kali

Pantang Mundur! Ini Cara Maestro Batik Pekalongan Tembus Pasar Meski Ditolak 100 Kali

MAKLUMAT – Jika semangat bisa diwariskan lewat kain, maka Batik Failasuf adalah warisan keberanian. Di balik gemerlap kain sutra dan motif burung surga, terselip prinsip keras kepala khas pedagang ulung: “Ditolak 100 kali baru berhenti.”

Itulah pedoman yang dipegang Ahmat Failasuf, pria kelahiran 1975 asal Pekalongan yang kini dikenal sebagai maestro batik tulis kelas dunia. Namun siapa sangka, perjalanannya bermula dari langkah kecil menyusuri pertokoan di Jalan Slamet Riyadi, Solo, dengan satu tas kain batik di tangan.

“Waktu itu saya masih kuliah di Akuntansi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Pulang kuliah langsung jualan dari toko ke toko. Kalau ada yang nolak, ya saya lanjut ke toko berikutnya. Pedomannya kalau saya ditolak seratus kali saya akan berhenti. Tapi biasanya ditolak paling sepuluh kali terus laku,” ujar Failasuf dikutip dari laman UMS, Selasa (22/7/2025).

Darah batik mengalir dari keluarganya. Tapi Failasuf tak mau sekadar meneruskan. Ia ingin membesarkan. Maka sejak awal ‘90-an, ia mulai menekuni pemasaran, membaca buku, langganan majalah bisnis, dan membangun jejaring.

Tahun 1999, saat krisis ekonomi masih membekas, ia justru berani memulai usaha. Di Desa Kemplong, Pekalongan, lahirlah Batik Pesisir Failasuf, merek batik tulis dengan ciri khas corak pesisiran yang cerah dan dinamis. Meski awalnya dicibir karena nekat buka usaha di masa sulit, Failasuf tetap jalan. “Kalau nunggu kondisi ideal, nggak akan mulai-mulai. Justru saat orang berhenti, kita mulai,” katanya.

Baca Juga  Yussi Perdana Saputera; Anak Muda Kalimantan Sukses Bangun Perusahaan Teknologi Radar

Berkat ketekunannya, batik karyanya mulai menjangkau pasar di berbagai kota. Tak puas di situ, ia mulai membidik panggung nasional. Targetnya: Istana Negara.

Menembus Istana Lewat Telepon

Tanpa koneksi di Jakarta, tahun 2000 ia nekat menelepon desainer kondang Adjie Notonegoro. “Saya perkenalkan diri sebagai desainer dari Pekalongan. Awalnya kaget juga dia, tapi saya minta waktu ketemu,” tutur Failasuf.

Pertemuan itu membuka jalan. Tak hanya pameran di Istana Bogor, tapi juga pesanan dari Presiden SBY dan Ibu Ani. Bahkan, batik Sawunggaling karyanya—bermotif burung phoenix—pernah digunakan sebagai kain penutup jenazah Ibu Ani.

Kini, Failasuf membagi bisnisnya dalam tiga lini: Batik Simonet untuk kelas bawah, Pesisir Failasuf untuk menengah, dan Masterpiece of Batik untuk kalangan pejabat dan internasional. Harga kainnya bervariasi, dari Rp100 ribu hingga lebih dari Rp100 juta per lembar.

Rahasia Sukses: Jujur dan Jangan Malas

“Saya selalu bilang ke anak muda: jangan terlalu lama ngerancang, segera praktik. Magang, jualan, cari relasi. Dunia usaha bukan tentang teori saja,” katanya.

Ia percaya, karakter lebih penting dari modal. “Kalau orang nggak percaya karakter kita, sehebat apa pun usaha nggak akan jalan,” tambahnya.

Kini, Failasuf tak hanya dikenal sebagai pengusaha, tapi juga penggagas Kampung Batik Wiradesa, sentra batik dan edukasi budaya di Pekalongan.

Meski telah menembus Istana, prinsipnya tetap sama: Ditolak seratus kali, baru berhenti. Sebab, dalam kamus sang maestro, kegagalan adalah bagian dari strategi.

Baca Juga  Profil Para Wakil Rektor Unismuh Makassar yang Baru Saja Dilantik
*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *