Risiko dan Bahaya Konsumsi Berlebihan Suplemen Vitamin Menurut Pakar

Risiko dan Bahaya Konsumsi Berlebihan Suplemen Vitamin Menurut Pakar

MAKLUMAT — Kasus keracunan akibat konsumsi suplemen vitamin dosis tinggi kembali mencuat. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik terjadi di Australia, melibatkan dua produk dari merek ternama Blackmores, yaitu Blackmores Super Magnesium+ dan Blackmores Ashwagandha+, yang diduga mengandung vitamin B6 dosis tinggi berpotensi toksik.

Fenomena ini menyoroti kesalahpahaman publik yang menganggap konsumsi vitamin dalam jumlah banyak akan otomatis membuat tubuh lebih sehat. Padahal, menurut dr. April Imam Prabowo, DTMH, MFM(Clin), Pakar Kedokteran Keluarga dan Kesehatan Global Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), konsumsi vitamin secara berlebihan, terutama yang berbahan sintesis, justru berisiko menimbulkan gangguan kesehatan serius.

“Vitamin A, D, E, dan K, bersifat larut lemak, sehingga kelebihannya akan disimpan dalam hati, jaringan lemak, dan otot untuk waktu yang lama,” jelas dr. April, dikutip laman resmi UMY, Sabtu (26/7/2025).

“Sementara vitamin B dan C larut dalam air, sehingga kelebihannya umumnya akan dikeluarkan melalui urine, kecuali B12 yang dapat disimpan dalam hati hingga bertahun-tahun,” sambungnya.

Risiko Serius Akibat Vitamin Sintetis

Masalah besar, kata dr. April, muncul saat seseorang mengonsumsi vitamin sintetis dalam dosis berlebih, khususnya vitamin B6. Berbeda dengan vitamin alami, vitamin B6 sintetis tidak dibuang secara efisien oleh tubuh, sehingga dapat menumpuk dan menimbulkan efek samping yang merusak.

“Kebutuhan harian vitamin B6 untuk orang dewasa hanya sekitar 1,3 hingga 1,7 mg. Namun, ada suplemen yang mengandung puluhan kali lipat dari angka tersebut,” terangnya.

Baca Juga  Sorot Kelalaian Sopir Ambulance dan Pelayanan Kesehatan, Haji Uma Desak Evaluasi Layanan Puskesmas

Penumpukan tersebut dapat memicu gangguan sistem saraf tepi, dan bahkan vitamin yang larut air seperti B6 bisa menyebabkan kerusakan serius, apalagi vitamin yang larut lemak seperti A, D, E, dan K.

“Prinsip ‘lebih banyak lebih baik’ hanya berlaku untuk makanan alami, bukan untuk suplemen sintetis,” tambah dr. April.

Minimnya Edukasi

Menurut dr. April, kasus overdosis tidak semata kesalahan pengguna. Banyak produk multivitamin dirancang dengan dosis tinggi tanpa edukasi yang cukup dari produsen. Ini menempatkan masyarakat dalam risiko besar karena mengonsumsi produk yang seharusnya hanya digunakan dalam kondisi medis tertentu.

“Sumber terbaik vitamin tetap dari makanan alami. Pola makan seimbang dan bervariasi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan harian tubuh,” tegasnya.

Suplemen, kata dia, hanya diperlukan dalam kondisi khusus, seperti kehamilan atau defisiensi klinis. Jika tidak, suplemen hanya akan menjadi ‘urine mahal’, dibuang tubuh tanpa dimanfaatkan.

Dorong Pengawasan dan Edukasi Publik

Sebagai langkah preventif, dr. April mengimbau masyarakat untuk selalu menerapkan prinsip Cek KLIK dari BPOM, yakni mengecek kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa, sebelum membeli produk suplemen. Ia juga mendorong masyarakat untuk melaporkan produk mencurigakan melalui HALOBPOM 1500533.

“Jika merasa ragu, segera konsultasikan dengan tenaga kesehatan. Jangan ragu juga untuk melaporkan produk mencurigakan,” tandasnya.

Lebih jauh, ia juga menekankan perlunya pengawasan ketat dari pemerintah terhadap produk suplemen di pasaran. Produsen harus tunduk pada batasan dosis berbasis bukti ilmiah dan mencantumkan peringatan yang jelas pada label produk.

Baca Juga  Jadwal Salat Wilayah Jawa Timur

“Saya rasa perlu ada survei nasional berkelanjutan untuk memantau pola konsumsi suplemen di masyarakat. Kita bisa belajar dari kasus di Australia, bahwa regulasi yang kuat pun bisa melemah jika pengawasan dan edukasi publik tidak berjalan seimbang,” pungkas dr. April.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *