Biaya Sekolah Naik Setinggi Langit, Fraksi NasDem: Harus Ditekan di Bawah Gaji Orang Tua

Biaya Sekolah Naik Setinggi Langit, Fraksi NasDem: Harus Ditekan di Bawah Gaji Orang Tua

MAKLUMAT Anggota Komisi X DPR RI Furtasan Ali Yusuf menyoroti lonjakan drastis biaya pendidikan dasar yang tak sebanding dengan kenaikan pendapatan orang tua. Politisi Fraksi Partai NasDem itu menyebut kenaikan biaya sekolah saat ini sudah tak terkendali dan cenderung “ugal-ugalan”. “Biaya sekolah melesat jauh, tapi kesejahteraan guru pun tidak terjamin,” tegas Furtasan dikutip dari laman DPR RI, Sabtu (26/7/2025).

Biaya Sekolah
Anggota Komisi X DPR RI Furtasan Ali Yusuf. Foto : Dok DPR RI/Andri

Furtasan mengeluarkan data riset harian Kompas yang menunjukkan, rata-rata biaya pendidikan Sekolah Dasar (SD) sepanjang 2018 hingga 2024 meningkat hingga 12,6 persen per tahun. Sebaliknya, rata-rata kenaikan gaji orang tua hanya 2,6 persen per tahun. Ketimpangan ini dinilai sebagai alarm serius bagi dunia pendidikan Indonesia.

Furtasan menegaskan perlunya regulasi ketat untuk mengatur batas bawah dan batas atas biaya pendidikan, khususnya di sekolah swasta. Selama ini biaya sekolah dibiarkan mengikuti mekanisme pasar tanpa kontrol jelas dari pemerintah.

“Kalau tidak ada regulasi yang mengatur, ya jadinya seperti sekarang. Komersialisasi pendidikan terjadi karena dibiarkan liar,” ujar Furtasan.

Ia juga menyoroti fenomena sekolah yang menawarkan fasilitas mewah seperti kolam renang hingga lapangan olahraga sebagai penyebab membengkaknya biaya. Namun, menurutnya, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menarik pungutan semaunya kepada orang tua siswa.

Tak hanya itu, ia menyinggung pula pengelolaan anggaran pendidikan nasional. Meski 20 persen dari APBN atau sekitar Rp714 triliun telah dialokasikan untuk sektor pendidikan, penggunaan dana tersebut dinilai belum sepenuhnya fokus. Anggaran justru tersebar ke berbagai sektor, termasuk pendidikan kedinasan, lembaga pelatihan, hingga belanja pegawai.

Baca Juga  Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ucapkan Selamat Harlah ke-102 NU, Apresiasi Peran dalam Merawat Kebangsaan

“Dana ini tidak semuanya mengalir ke pendidikan dasar dan menengah. Banyak yang terserap ke birokrasi,” ungkapnya.

Untuk itu, Furtasan mendesak penguatan fungsi pengawasan DPR agar alokasi anggaran pendidikan tepat sasaran, tidak terjebak pada sistem yang terfragmentasi.

Mengutip laporan Kompas.id, BPS menyebut biaya pendidikan SD pada 2018 rata-rata Rp2,4 juta. Tahun 2021 naik jadi Rp3,2 juta, dan pada 2024 mencapai Rp4,6 juta. Sebaliknya, pendapatan orang tua pada 2018 sebesar Rp2,8 juta justru turun menjadi Rp2,7 juta pada 2021, lalu naik tipis jadi Rp3,3 juta pada 2024.

Furtasan menilai perlu ada regulasi ketat dari pemerintah untuk menetapkan standar biaya minimum dan maksimum pendidikan, terutama di sekolah swasta. Menurutnya, tanpa batasan yang jelas, sekolah bebas menentukan tarif yang bisa memberatkan orang tua.

“Komersialisasi pendidikan terjadi karena dibiarkan mengikuti mekanisme pasar. Ini harus dihentikan,” tegasnya.

Biaya Sekolah Swasta

Kenaikan tajam terasa lebih signifikan di sekolah swasta. Selama enam tahun terakhir, biaya transportasi meningkat 3,3 kali lipat, uang SPP naik 2,2 kali lipat, kunjungan edukatif naik 2 kali lipat, serta uang saku dan pendaftaran masing-masing naik 1,9 dan 1,8 kali lipat.

Reza (39), warga Depok, salah satu orang tua murid, mengaku terkejut saat membandingkan biaya masuk SD swasta dua tahun terakhir. ”Rata-rata naik 10 persen per tahun, lebih tinggi dari inflasi,” katanya.

Baca Juga  12 Dubes Arab Temui Sekjen PBB, Palestina Minta Israel Dikeluarkan dari Majelis Umum

Masalah makin pelik karena akses ke SD negeri juga tak mudah. Di Jabodetabek dan sembilan kota besar lain seperti Medan, Surabaya, dan Makassar, rata-rata biaya SD swasta mencapai Rp7,1 juta per tahun. Sementara SD negeri hanya Rp1,6 juta per tahun.

Artinya, biaya SD swasta 4,4 kali lipat lebih mahal dari SD negeri. Padahal, banyak keluarga miskin tak punya pilihan lain. Dari data mikro Susenas Maret 2024, 25,5 persen dari 230 ribu keluarga miskin tetap menyekolahkan anaknya ke SD swasta karena keterbatasan kuota sekolah negeri.

Hendri (42), warga Bekasi, harus membayar Rp2 juta untuk uang pangkal anak keduanya masuk SD swasta, plus iuran Rp275.000 per bulan. “Gaji saya sebagai petugas kebersihan tak sebanding dengan pengeluaran sekolah, apalagi anak pertama juga masuk perguruan tinggi,” keluhnya.

Furtasan juga menyoroti anggaran pendidikan nasional yang mencapai 20 persen dari APBN atau sekitar Rp714 triliun. Menurutnya, dana itu tidak sepenuhnya fokus pada pendidikan dasar dan menengah karena masih tersebar ke lembaga diklat, pendidikan kedinasan, hingga belanja pegawai.

Ia mendorong penguatan fungsi pengawasan DPR agar dana pendidikan benar-benar menyentuh kebutuhan dasar dan tidak habis dalam birokrasi yang terfragmentasi.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *