Jurnalisme Inklusif Bukan Pilihan, tapi Keharusan

Jurnalisme Inklusif Bukan Pilihan, tapi Keharusan

MAKLUMAT — Sonya Hellen Sinombor, jurnalis senior harian Kompas, menegaskan bahwa jurnalisme inklusif bukan konsep baru, meskipun belum banyak dibicarakan secara eksplisit pada tiga dekade silam. Menurutnya, praktik ini sejatinya sudah dilakukan oleh sebagian wartawan, hanya saja belum diberi nama.

Kini, ketika istilah itu mulai mendapat tempat dalam diskursus media, penting bagi setiap jurnalis untuk tidak hanya memahami maknanya, tetapi juga menerapkannya secara sadar dan konsisten. Hal itu ia sampaikan dalam forum daring Mainstreaming GEDSI di Media: Mengembangkan Jurnalisme Inklusif yang diselenggarakan PP Aisyiyah pada Rabu (6/8/2025).

“Jurnalisme inklusif adalah praktik jurnalistik yang memastikan representasi yang adil, berimbang, dan respectful terhadap semua kelompok masyarakat, termasuk kelompok yang selama ini terpinggirkan atau kurang terwakili dalam media,” ujarnya.

Sonya menyebut, ada empat alasan mendasar mengapa jurnalisme inklusif perlu dikedepankan. Keempatnya adalah representasi yang adil, keadilan informasi, empati dan pemahaman, serta kontribusinya terhadap transformasi sosial. Keempatnya, kata dia, saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Tanpa keadilan representasi, maka keadilan informasi pun akan timpang. Tanpa empati, maka jurnalisme akan kehilangan kepekaannya terhadap realitas sosial.

Ia menegaskan bahwa peliputan harus mencakup semua kelompok, tanpa terkecuali. Tidak boleh ada satu pun golongan yang disisihkan dalam konstruksi narasi media, baik secara eksplisit maupun tersirat. Prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi, menurutnya, harus tertanam sejak dalam proses peliputan hingga penyusunan naskah berita.

Baca Juga  Dukung Kebijakan Mendikdasmen Soal SPMB, PDPM Surabaya: Harus Dikawal Khusus

“Jangan pilih-pilih dalam memberitakan. Semua kelompok harus diliput, semua sama, tanpa tapi. Setara. Tidak boleh ada perlakuan berbeda hanya karena latar belakang identitasnya,” katanya.

Ia menyayangkan praktik-praktik liputan yang kerap kali minim empati. Dalam konteks bencana atau kejadian tragis, misalnya, wartawan sering datang hanya untuk mengambil kutipan tanpa mempertimbangkan kondisi emosional narasumber. Padahal, kata dia, jurnalisme inklusif juga dikenal sebagai jurnalisme empati.

“Di dalam jurnalisme inklusif ini, kita harus punya empati. Maka sering juga ada yang menggunakan istilah jurnalisme empati. Jangan datang liputan kemudian orang lagi nangis, ada kecelakaan, lalu kita wawancara,” ujarnya.

Lebih jauh, Sonya menekankan pentingnya keberagaman sebagai mindset dalam kerja jurnalistik. Bukan hanya sekadar memenuhi kuota narasumber, tetapi sungguh-sungguh menghadirkan sudut pandang dari berbagai kelompok masyarakat. Termasuk kelompok-kelompok yang selama ini jarang dimunculkan atau hanya disebut sebagai objek penderita.

“Wartawan harus memastikan semua orang dan semua pihak mendapat porsi yang seimbang dalam berita. Jangan ada yang tertinggal di belakang, atau kita lupakan dalam narasi-narasi yang kita bangun sebagai penulis,” katanya.

Ia pun menggarisbawahi pentingnya penggunaan bahasa yang tidak bias dan tidak memperkuat stigma atau ketimpangan yang sudah ada. Termasuk dalam cara jurnalis melakukan framing terhadap kelompok rentan. Sonya mencontohkan pengalamannya ketika meliput kehidupan lansia transpuan yang selama ini menghadapi diskriminasi berlapis, baik dari negara maupun masyarakat.

Baca Juga  Timpa Teks, Cara Masyarakat Menertawakan Tingkah Pejabat Publik

Sonya menceritakan bahwa banyak dari mereka dikeluarkan dari Kartu Keluarga, tidak memiliki KTP, sehingga kesulitan mengakses layanan dasar seperti kesehatan. Bahkan ketika datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD), penanganan terhadap mereka kerap setengah hati karena tidak memiliki identitas.

“Hidup mereka sangat sulit. Dihilangkan dari KK, ini tentu persoalan administratif, tidak punya KTP, sulit mengakses banyak hal, misalnya kesehatan, ditolak karena tak ada tanda pengenal. Diterima di IGD pun, penanganan setengah-setengah,” ujarnya.

Kesulitan itu, katanya, tidak berhenti pada soal akses layanan dasar. Dalam urusan ekonomi pun mereka sering ditolak saat hendak membuka usaha. Ketika meninggal, keluarga dan kerabat pun kerap kesulitan mencari tempat pemakaman yang layak karena penolakan dari masyarakat. “Mereka liyan di negeri ini. Bahkan saat mati pun sulit untuk mendapatkan pemakaman layak,” imbuhnya.

Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya menghindari diksi-diksi yang melanggengkan kekerasan simbolik terhadap kelompok marginal. Istilah seperti “bencong” atau “banci” dalam pemberitaan, menurutnya, merupakan bentuk kekerasan yang harus dihapus dari praktik jurnalistik.

“Penting sekali stereotip dan bias itu kita hilangkan. Jangan merasa kita lebih baik sehingga menyepelekan kelompok-kelompok itu. Nanti sangat berdampak ke liputan yang kita tulis,” tandasnya.

Ia menambahkan bahwa banyak jurnalis yang masih menempatkan kelompok rentan sebagai objek dalam narasi liputan, bukan sebagai subjek yang memiliki suara dan agensi. Padahal, dalam semangat jurnalisme inklusif, narasumber dari kelompok marginal harus diberi ruang bicara dan tidak sekadar dituliskan dari sudut pandang luar.

Baca Juga  201 Jurnalis di Gaza Tewas Akibat Serangan Israel Sejak Oktober 2023

“Pernah tidak kita baca berita terkait kelompok-kelompok tersebut, dari awal sampai akhir, tidak ada wawancara terhadap subjek. Penulis hanya menarasikannya sebagai objek. Padahal penyintas itu punya hak untuk berbicara,” tandasnya.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *