Pengibaran Bendera One Piece: Simbol Anti Hegemoni Negara

Pengibaran Bendera One Piece: Simbol Anti Hegemoni Negara

MAKLUMAT — Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan ke-80 RI, muncul sebuah fenomena pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece. Bendera dengan gambar tengkorak dan tulang bersilang ini dikibarkan oleh sebagian masyarakat sebagai ekspresi kekecewaan terhadap kinerja pemerintah. Fenomena tersebut membuat geram pejabat negara. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan menegaskan akan mengambil tindakan hukum terkait hal tersebut. Lebih ironis lagi, Menteri HAM, Natalius Pigai menyebut tindakan ini bagian dari makar.

Padahal, dalam iklim demokrasi, fenomena semacam ini tidak semestinya direspons secara represif. Sebaliknya ekspresi simbolik seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat, terutama generasi muda, masih memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa. Mereka sedang mencoba menyuarakan kegelisahan sosial melalui bahsa dan simbol yang dekat dengan keseharian mereka. Hal ini menandakan adanya ruang kritik dan partisipasi, bukan bentuk penghinaan terhadap negara.

Arief Hanafi
Arief Hanafi

Dengan berbagai perangkat kemanan yang dimiliki, serta posisi negara yang sangat dominan dan kuat, terlalu berlebihan jika fenomena ini langsung dicurigai sebagai bentuk makar atau ancaman terhadap nasionalisme. Tindakan reaktif dari pemerintah akan menciptakan jurang antara negara dan rakyat. Sebaliknya, respons yang bijak dan terbuka akan menunjukkan bahwa negara percaya diri dan matang dalam menyikapi kritik, bahkan ketika kritik itu muncul dalam bentuk simbol bajak laut dari dunia fiksi.

Baca Juga  Totalitas Pemuda Negarawan

Secara sosiologis, fenomena ini terjadi sebagai bentuk counter hegemony terhadap narasi yang dibangun pemerintah. Narasi tentang keberhasilan dalam pertumbuhan ekonomi, penciptaan jutaan lapangan kerja dan stabilitas nasional yang selalu digaungkan di ruang publik bertolak belakang dengan realitas sesungguhnya. Masih banyak kelompok masyarakat marginal, kelas pekerja yang tidak merasakan langsung narasi kemajuan itu dalam kehidupan sehari-hari.

Antonio Gramsci, tokoh neo Marxis asal Italia ini menyebut hegemoni tidak hanya dibangun melalui kekuasaan politik, tetapi juga melalui dominasi simbolik dan ideologis menuntut penerimaan seolah-olah wajar dan tak terbantahkan. Dalam konteks hegemoni, pemerintah sedang membentuk “kesadaran bersama” bahwa kebijakan pemerintah adalah benar dan berhasil.

Ketika narasi keberhasilan dari pemerintah tersebut tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya, maka Sebagian kelompok, khususnya anak muda merasa perlu untuk memunculkan simbol-simbol perlawanan secara organik dan kultural. Bendera One Piece dalam konteks ini menjadi medium ekspresi bagi kelompok-kelompok yang merasa tersisih atau tidak terwakili. Tentu ini bukan aksi iseng, melainkan bentuk komunikasi simbolik yang menadakan bahwa ada keresahan dari arus bawah.

Dalam konteks demokrasi, tentu respons pengibaran bendera One Piece patut diapresiasi, bukan justru diamputasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa masih ada kelompok masyarakat yang peduli dan kritis terhadap masa depan bangsanya, bukan justru tenggelam dalam apatisme atau sibuk dalam narsisme digital. Terlebih di tengah derasnya arus individualisme dan politik identitas yang sering memacah belah, ekspresi semacam ini adalah bentuk keterlibatan simbolik yang menunjukkan adanya kesadaran sosial.

Baca Juga  Pemilu 2024: Koalisi Kepentingan Para Elite Partai

Maka sudah saatnya negara tidak hanya sibuk menertibkan ekspresi warganya, tetapi meluangkan waktu untuk bercermin, apakah kebijakan dan arah Pembangunan sudah benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat? Apakah keadilan sosial telah dirasakan secara merata atau justru hanya menjadi jargon seremonial setiap tanggal 17 Agustus? Evaluasi dan refleksi agaknya penting untuk dilakukan, sebagai upaya memperbaiki bangsa ini agar lebih baik.

Negara yang kuat bukanlah negara yang membungkam suara rakyatnya, melainkan negara yang mampu mendengar, merangkul, dan merespons suara-suara tersebut dengan kebijakan yang berpihak dan solutif. Artinya, dibutuhkan pendekatan yang lebih manusiawi dan partisipatif dalam merumuskan kebijakan publik, yakni berbasis pada kebutuhan rakyat, bukan sekadar angka statistik atau laporan yang sudah dipoles sebelumnya. Negara tidak hanya sebagai pengatur, tetapi juga pendengar dan pelayan.

Dengan langkah-langkah konkret seperti peningkatan kualitas lapangan kerja, pemerataan akses pendidikan dan kesehatan, serta ruang partisipasi yang terbuka bagi generasi muda untuk berperan dalam Pembangunan, maka harapan akan masa depan yang lebih adil dan inklusif bisa menjadi nyata. Hanya dengan cara seperti itu, rasa cinta terhadap bangsa tidak perlu lagi diwujudkan lewat simbol perlawanan, karena keadilan dan kesejahteraan telah hadir dalam kehidupan sehari-hari.

*) Penulis: Arief Hanafi
Pegiat Literasi; Guru Sosiologi SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *