Tragedi Kemanusiaan Gaza: Kelaparan Massal dan Pembunuhan Jurnalis dalam Bayang-bayang Genosida

Tragedi Kemanusiaan Gaza: Kelaparan Massal dan Pembunuhan Jurnalis dalam Bayang-bayang Genosida

MAKLUMAT — Di tengah gemuruh politik global yang semakin hiruk pikuk, ada sebuah tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Gaza—sebuah penjara terbuka dengan dua juta jiwa yang terjebak dalam spiral kekerasan tanpa akhir. Krisis kelaparan massal dan pembunuhan sistematis terhadap jurnalis di Gaza bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari kegagalan peradaban manusia abad ke-21.

Kelaparan sebagai Senjata Pemusnah Massal

Syahnanto Noerdin.
Syahnanto Noerdin.

Data terbaru menunjukkan gambaran yang mengerikan. Lebih dari 20.000 anak telah dirawat karena malnutrisi akut sejak April, dengan setidaknya 16 anak di bawah lima tahun meninggal karena sebab-sebab terkait kelaparan sejak pertengahan Juli. Angka ini bukan sekadar statistik—ini adalah nyawa manusia yang hilang karena kebijakan sistematis yang menggunakan kelaparan sebagai alat perang.

Sekitar 96 persen populasi di Jalur Gaza (2,15 juta orang) menghadapi tingkat ketidakamanan pangan akut yang tinggi hingga September 2024, dengan lebih dari 495.000 orang (22 persen populasi) masih menghadapi tingkat katastrofik. Program Pangan Dunia (WFP) bahkan terpaksa menghabiskan stok makanan terakhirnya untuk mendukung dapur makanan panas untuk keluarga pada 25 April, sementara semua 25 toko roti yang didukung WFP tutup karena tepung terigu dan bahan bakar memasak habis.

Yang lebih mengkhawatirkan, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan 10 orang meninggal karena kelaparan dalam 24 jam, membawa total korban kelaparan menjadi 111 sejak awal perang. Di antara mereka adalah bayi berusia 6 minggu bernama Yousef al-Safadi—sebuah gambar yang memilukan dari betapa kejamnya penggunaan kelaparan sebagai senjata perang.

Pembunuhan Sistematis terhadap Jurnalis: Membungkam Suara Kebenaran

Dunia jurnalisme internasional mencatat rekor yang kelam. Tahun 2024 menjadi tahun paling mematikan bagi jurnalis dalam sejarah Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), dengan 85 jurnalis dan pekerja media terbunuh dalam perang Israel-Gaza pada 2024. Secara keseluruhan, 232 jurnalis telah terbunuh dalam perang Gaza—rata-rata 13 per bulan—menjadikannya konflik paling mematikan bagi pekerja media yang pernah tercatat.

Yang mengejutkan, tentara Israel telah, berdasarkan pengakuannya sendiri, dengan sengaja membunuh jurnalis selama perang Gaza, termasuk Ismail al-Ghoul, Ramil al Refee, Hamza Dahdouh, Hossam Shabat, dan Hassan Aslih. Salah satu kasus yang menggegerkan adalah kematian jurnalis Al Jazeera Arabic Ismail Al-Ghoul dan juru kameranya Rami al-Rifi, yang meninggal pada 31 Juli 2024, ketika pasukan Israel mengebom mobil mereka di kamp pengungsi Shati, barat Kota Gaza.

Baca Juga  Menelaah Kebijakan Gubernur Jabar: Metode Militer dalam Pembinaan Siswa Problematik, Antara Konstruktif dan Destruktif

Bahkan yang paling terbaru adalah lima jurnalis Al Jazeera dibunuh oleh pasukan Israel di jalur Gaza pada Minggu, 8 Agustus 2025. Seorang koresponden, satu wartawan on air dan tiga staf operator kamera dibunuh pasukan Israel di tenda mereka di Gaza. Israel menargetkan pembunuhan jurnalis Anas Al Sharif dan menuduhnya sebagai ‘teroris’ yang terafiliasi dengan Hamas.

Pembunuhan terhadap jurnalis merupakan yang kesekian kalinya sejak 22 bulan terakhir oleh pasukan Israel yang dilakukan secara sistematis. Tentu saja ini adalah upaya terencana untuk membungkam saksi mata, menghilangkan dokumentasi kejahatan perang, dan menciptakan ruang gelap informasi di mana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat berlangsung tanpa pengawasan dunia.

Kritik Sosial: Hipokrisi Peradaban Global

Ilustrasi situasi terkini di Gaza, Palestina. (SORA)
Ilustrasi situasi terkini di Gaza, Palestina. (SORA)

Dunia hari ini terjebak dalam paradoks moral yang memalukan. Di satu sisi, kita memiliki teknologi yang memungkinkan informasi menyebar dalam hitungan detik, namun di sisi lain, kita menyaksikan genosida berlangsung secara langsung di hadapan mata dunia tanpa tindakan nyata untuk menghentikannya.

Keheningan sebagian besar negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa, terhadap krisis Gaza mengungkap standar ganda yang mengakar dalam politik internasional. Nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi manusia, dan keadilan yang mereka gembar-gemborkan ternyata hanya berlaku selektif—tergantung pada siapa pelaku dan korbannya.

Media mainstream internasional pun turut berpartisipasi dalam pembungkaman ini. Mereka lebih memilih narasi yang “berimbang” ketimbang melaporkan fakta kemanusiaan yang sesungguhnya. Kata “konflik” digunakan untuk menggambarkan apa yang sejatinya adalah pembantaian satu arah. Euphemisme menjadi alat untuk menyamarkan kekejaman.

Masyarakat sipil global, meskipun sebagian telah bersuara, masih belum mampu menciptakan tekanan yang cukup untuk mengubah kebijakan pemerintah mereka. Gerakan solidaritas yang muncul di berbagai belahan dunia memang mengharukan, namun belum mampu menembus struktur kekuasaan yang melindungi impunitas Israel.

Indonesia: Konsistensi di Tengah Pragmatisme Politik

Di tengah keheningan dunia, Indonesia tetap menunjukkan konsistensinya dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Indonesia menolak mengakui Negara Israel hingga tercapai kesepakatan damai antara Israel dan Negara Palestina. Posisi ini bukan sekadar retorika diplomatik, melainkan komitmen yang telah berlangsung sejak era kemerdekaan.

Baca Juga  Serangan Zionis Israel Sasar Markas UNIFIL, 2 Personil TNI Terluka

Sebagai anggota Komite dan Biro Komite Palestina PBB (CEIRPP), Indonesia memainkan peran penting dalam memobilisasi dukungan untuk Palestina dan memperkuat hubungan bilateral. Indonesia juga aktif dalam berbagai forum internasional, sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia menjadikan keadilan bagi rakyat Palestina sebagai isu kunci, merekomendasikan tiga tindakan penting: memperkuat ekosistem hak asasi manusia, mengatasi krisis kemanusiaan global, dan mempromosikan hak asasi manusia secara setara.

Namun, sikap Indonesia juga menghadapi ujian pragmatisme. Pada 28 Mei 2025, dalam percakapan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Jakarta, Presiden Indonesia Prabowo Subianto sekali lagi menyatakan bahwa dia akan bersedia menjalin hubungan diplomatik dengan Israel jika negara tersebut mengakui negara Palestina. Posisi ini menunjukkan bahwa Indonesia masih konsisten dengan prinsipnya, meskipun membuka kemungkinan diplomasi pragmatis.

Indonesia akan tetap teguh mendukung negara Palestina. Tidak akan ada hubungan diplomatik dengan Israel sebelum itu terwujud—pernyataan ini tetap menjadi landasan kebijakan luar negeri Indonesia.

Peran Indonesia yang Bisa Diperluas

Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan anggota G20, memiliki potensi untuk memainkan peran yang lebih besar dalam penyelesaian krisis Palestina. Beberapa langkah strategis yang bisa diambil:

Diplomasi Multilateral yang Lebih Agresif: Indonesia perlu lebih aktif dalam memimpin koalisi negara-negara Non-Blok dan negara-negara Muslim untuk menciptakan tekanan diplomatik yang lebih besar terhadap Israel dan negara-negara yang mendukungnya.

Dukungan Kemanusiaan yang Sistematis: Meningkatkan bantuan kemanusiaan dan memfasilitasi jalur bantuan yang tidak bisa diblokir oleh Israel. Indonesia bisa bekerja sama dengan negara-negara Arab dan organisasi internasional untuk menciptakan koridor kemanusiaan yang berkelanjutan.

Kampanye Informasi Global: Memanfaatkan soft power Indonesia di dunia internasional untuk melawan narasi yang melegitimasi tindakan Israel. Indonesia bisa memimpin kampanye informasi global yang mengekspos kejahatan perang yang terjadi di Gaza.

Boikot Ekonomi Terkoordinasi: Memimpin gerakan boikot ekonomi terkoordinasi terhadap produk-produk Israel dan perusahaan-perusahaan yang mendukung okupasi.

Baca Juga  Ketika LSM Dituding Mengadu Domba

Dukungan Hukum Internasional: Mendukung upaya-upaya hukum di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ) untuk mengadili para pelaku kejahatan perang.

Refleksi Peradaban: Ketika Kemanusiaan Diuji

Tragedi Gaza adalah cermin buram peradaban manusia abad ke-21. Kita hidup di era di mana informasi mengalir deras, teknologi memungkinkan kita terhubung secara real-time, namun kita tetap membiarkan genosida terjadi di hadapan mata. Kita memiliki institusi internasional yang dirancang untuk mencegah atrocities mass, namun institusi-institusi itu terbukti lemah ketika berhadapan dengan kepentingan geopolitik.

Pembunuhan jurnalis secara sistematis mengungkap strategi yang lebih dalam: menciptakan ruang gelap informasi di mana kejahatan bisa berlangsung tanpa dokumentasi. Ketika mata dunia ditutup paksa, pembantaian bisa berlangsung dengan leluasa.

Kelaparan massal yang dialami rakyat Gaza bukan bencana alam—ini adalah hasil dari kebijakan yang disengaja, pengepungan yang sistematis, dan penggunaan kelaparan sebagai senjata perang. Ini adalah kejahatan perang yang paling keji: membunuh dengan perlahan, membuat penderitaan berlangsung lama, dan memaksa orang tua menyaksikan anak-anak mereka merana.

Panggilan untuk Tindakan

Gaza hari ini adalah ujian bagi kemanusiaan kita bersama. Setiap hari yang berlalu tanpa tindakan nyata untuk menghentikan tragedi ini adalah hari di mana kita gagal sebagai spesies yang mengaku beradab.

Indonesia, dengan konsistensinya yang patut diapresiasi, perlu melangkah lebih jauh. Diplomasi halus dan pernyataan-pernyataan politik tidak lagi cukup ketika berhadapan dengan genosida yang sedang berlangsung.

Dunia membutuhkan tindakan nyata: embargo militer total terhadap Israel, sanksi ekonomi yang komprehensif, isolasi diplomatik, dan yang paling penting, tekanan politik yang tidak kenal lelah hingga pembantaian ini berhenti.

Gaza adalah ujian kemanusiaan kita. Bagaimana kita merespons tragedi ini akan menentukan apakah kita masih layak menyebut diri sebagai peradaban yang beradab.

Dalam keheningan yang mencekik ini, satu-satunya suara yang tersisa adalah jeritan kesakitan rakyat Gaza dan suara hati nurani kemanusiaan yang menuntut keadilan. Pertanyaannya: akankah kita terus tuli, atau akankah kita akhirnya berani mendengar dan bertindak?.***

Palestina merdeka bukan sekadar slogan—ia adalah imperatif moral yang tidak bisa ditawar.

 

*) Penulis: Syahnanto Noerdin
Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia; Alumni Magister Ilmu Komunikasi FISIP UMJ

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *