Alimatul Qibtiyah: Gender itu Konstruksi Sosial, Bukan Kodrat Biologis

Alimatul Qibtiyah: Gender itu Konstruksi Sosial, Bukan Kodrat Biologis

MAKLUMAT — Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah, Prof Alimatul Qibtiyah SAg MSi PhD, menegaskan pentingnya memahami kesetaraan dan keadilan gender dari perspektif Islam. Hal ini disampaikannya dalam acara Gerakan Subuh Mengaji pada Senin (11/8/2025).

Alimatul menjelaskan, kesetaraan dan keadilan gender kerap disalahpahami sebagai konsep Barat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Miskonsepsi tersebut antara lain menganggap gerakan gender melemahkan laki-laki, menyebabkan perceraian, atau merusak institusi keluarga.

“Gender itu konstruksi sosial, bukan kodrat biologis. Misalnya, perempuan memakai jilbab atau laki-laki memakai kopiah adalah fenomena sosial. Namun, ketika seorang profesor perempuan tidak diakui sebagai penguji hanya karena gendernya, itu menjadi persoalan,” ujarnya.

Menurut dia, gender bukanlah agenda Barat, melainkan bagian dari ajaran Islam yang menjunjung kesetaraan dan keadilan. Ia memaparkan lima dimensi gender, yakni sebagai fenomena sosial, persoalan, perspektif, alat analisis, dan gerakan kesadaran.

Dalam pemaparannya, Alimatul mengaitkan nilai kesetaraan gender dengan QS An-Nisa ayat 1 yang menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat yang sama. Keduanya sama-sama sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi dengan potensi setara untuk meraih prestasi, pahala, serta bertanggung jawab atas perbuatannya.

Ia menilai penafsiran ayat seperti An-Nisa ayat 34 sering keliru, karena kata “qawwām” lebih tepat dimaknai sebagai pendamping, bukan penguasa. Ia juga mengkritisi penggunaan hadis yang lemah atau konteksnya sempit untuk membenarkan subordinasi perempuan.

Baca Juga  Benjamin Kristianto Dorong Revisi Perda 12/2022 untuk Jamin Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan

Alimatul menyoroti bahwa ketidakadilan gender tidak hanya dialami perempuan, tetapi juga laki-laki. Selama pandemi, beban pengasuhan perempuan empat kali lipat lebih besar, sementara laki-laki tertekan budaya patriarki untuk menjadi pencari nafkah utama, yang berisiko pada krisis maskulinitas dan gangguan mental.

“Laki-laki dianggap cengeng jika curhat. Ini adalah toksik maskulinitas yang merugikan kesehatan mental mereka,” ungkap Guru Besar Ilmu Kajian Gender di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

Ia menegaskan bahwa Islam telah merevolusi status perempuan sejak masa Jahiliyah, mengubah relasi kuasa menjadi relasi kasih sayang, tanggung jawab, dan perlindungan. Menurutnya, kesetaraan gender bukan berarti menyamakan peran secara identik, melainkan memastikan hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang setara tanpa diskriminasi.

Di Muhammadiyah, Alimatul mengapresiasi langkah-langkah afirmatif seperti keterlibatan penceramah perempuan di podium Ramadan dan meningkatnya representasi perempuan di berbagai bidang, termasuk 56% ASN perempuan menurut data BKN 2023.

Ia mengajak masyarakat untuk mengkaji isu gender dengan pikiran terbuka, hati terbuka, dan kemauan terbuka demi terwujudnya Islam berkemajuan yang rahmatan lil-‘alamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *