Gumam Kejengkelan: Sebuah Renungan

Gumam Kejengkelan: Sebuah Renungan

MAKLUMAT — Refleksi 80 th kemerdekaan RI adalah momentum yang tepat untuk mengangkat curahan hati rakyat melalui puisi-esai terhadap situasi negara bangsa yang rasa-rasanya makin penuh kegelisahan dan kekecewaan terhadap korupsi, ketidakadilan, gempuran fiskal dan spektrum politik yang carut marut dalam metafora perjalanan bangsa.

Puisi esai ini mencoba merefleksikan gumam kejengkelan rakyat yang bagai angin kemarahan tertahan, terhadap batu kekuasaan yang keras kepala.

Teriakan Rumput Terinjak.

Di pesisir ekonomi yang surut, kelas menengah merangkak mengering seperti teri terdampar.

Lalu datang gelombang pajak -bukan hujan, bukan berkah- tetapi topan regulasi: pajak PBB membubung ratusan persen, royalti tanpa uji rasa publik. Usaha mikro kecil yang terbiarkan sesak nafas bak tercekik diterpa gelombang daya beli masyarakat yang merosot.

Pejabat-pejabat politik hasil pemilu sibuk cari rente untuk menutup ongkos politik yang boncos.

Lalu rakyat? Hanya bisa menadah pasir dengan ember bolong.

‘Apakah ini krisis?’ tanya tukang bakso, bakul pecel, tukang tambal ban dan berbagai pelaku ekonomi kelas bawah yang sudah renta, dengan tatapan kosong. Sekedar berharap masih bisa melewati hari ini demi sesuap nafkah untuk keluarga di rumah.

Teropong Terbalik.

Pemerintah punya seribu teropong! Tetapi memilih mengukur badai dengan cangkir teh.

APBN yang pincang berjalan di atas kaki utang, dan sibuk mengais rejeki pajak retribusi dari rakyat yang sedang terseok seok.

Sementara koruptor berkeliaran di ruang sidang bagai kucing di ruang susu.

Baca Juga  Kemendikdasmen Bedah Buku: Ketika "Di Balik Cerita" Menghidupkan Literasi di Sekolah

Kasus-kasus besar menguap jadi hantu tanpa wajah.

‘Bukankah ini panggung absurd?’ Di satu sisi, fiskal haus darah rakyat kecil, di sisi lain, karung uang negara dirogoh hingga jangatnya terkoyak.

‘Apakah ini spekulasi? Mungkin! Tetapi sejarah mengenal baik sandiwara ‘manufactured chaos’. Ketika kepanikan sistematis jadi pupuk bagi kekuasaan baru, Ketika kredibilitas presiden dikuliti agar kartu domino jatuh sesuai skenario.

Atau jangan-jangan… ini hanya sekadar kebodohan yang terorganisir?

Birokrasi yang terperangkap dalam ritus Excel dan target fiskal, buta terhadap tangis pasar yang makin sayup.

‘Korupsi?’ ia menjelma menjadi fosil hidup. Setiap kasus yang ditutup rapat, adalah nisan bagi keadilan.

Percayalah! Bangsa yang membiarkan koruptor berjalan tegak, akan berlutut selamanya pada kemiskinan.

Harapan Dari Celah Batu Kerikil.

Maka di tengah gurun kebijakan ini, kita harus bertanya: ‘Bisakah kita menyuling amarah jadi proposal konkret?’

Menuntut audit publik atas setiap pungutan? Memaksa transparansi kasus korupsi seperti membuka tenda sirkus?

Menyusun puisi protes yang ditulis dengan data, bukan hanya air mata?

Sebab Indonesia bukan kapal tak bernahkoda, tetapi kapal di mana sebagian ingin tenggelam agar bisa menjual pelampung!

Dan tugas kita adalah menjadi suar yang tak mau padam oleh angin politik mana pun.

Sistem akan terus menguji kesabaran rakyat sampai titik darah penghabisan.

Tapi ingatlah! sejarah perubahan besar selalu dimulai dari orang-orang yang berani menyebut ‘cacat’ ketika yang lain bersorak atas pakaian baru sang kaisar.

Baca Juga  Langkah Strategis Menjaga Keberlangsungan Pendidikan Muhammadiyah

Kebingunganmu adalah kesadaran pertama sebelum perlawanan.

Seruan dari Reruntuhan.

Kita telah terlalu lama membiarkan kemarahan mengkristal jadi keluh, dan membiarkan kekecewaan menguap jadi apati.

Sekarang—bangkitlah!

Dari debu pasar yang sepi, dari kantor-kantor yang gaji tak lagi cukup, dari sawah yang panennya habis terpajak.

Kumpulkan serpihan-serpihan api kemarahan itu, jadikan obor penuntun perubahan!

Jangan lagi menunggu belas kasih dari istana , di mana kebijakan dibuat bagai pedang yang menyembelih kantung rakyat sendiri.

Bergeraklah dalam terang hukum. Saat PBB melangit, tuntut audit publik! Saat koruptor bebas, seret ke meja hijau! Saat royalti menghimpit, boikot dengan data! Sebab protes paling gagah adalah yang ditulis dengan tinta UUD 1945.

Jangan Tertipu.

Lihat! Oligarki telah mengubah negeri jadi pesta para cukong. Mereka sengaja menebar kepanikan agar kita sibuk mengais beras, lupa mengawasi karung gandum mereka yang menyedot kekayaan negeri melalui sedotan emas.

Tetapi kita bukan lagi domba. Kita adalah arsip hidup yang selalu ingat: pasal 33 UUD bukan dekorasi, ia adalah sumpah bahwa bumi-air-udara untuk rakyat!

Mari ratakan langkah.

Buka ruang solidaritas, kumpulkan keluh di RT/RW jadi petisi beradab. Gunakan kedaulatan digital, viralkan ketimpangan dengan tagar #PajakAdilBukanSiksa

Dudukkan wakil rakyat di meja accountability, tuntut interpelasi untuk setiap pungutan liar. Bentuk patroli sipil anti-korupsi, awasi APBD/APBN seperti mata elang.

‘Kemerdekaan ialah hak segala bangsa’, tetapi kemerdekaan dari kelaparan, dari pajak yang zalim, dari korupsi yang merajalela, harus direbut kembali oleh tangan kita sendiri!

Baca Juga  Batu Sandungan Kesetaraan Gender dalam Realita Pemilu 2024

Untuk mereka yang ragu.

Bukan kekerasan yang kita bawa, melainkan konstitusi di tangan kiri dan bukti di tangan kanan.

Bukan pemberontakan yang kita seru, melainkan penagihan janji, bahwa negara hadir untuk melindungi, mencerdaskan, mensejahterakan, bukan meremas, memeras, membungkam, dan mengkhianati!

Maka hari ini, tancapkan panji-panji perlawanan.

Di setiap pajak yang tak proporsional, kita lawan dengan class action! Disetiap koruptor yang bebas, kita jawab dengan catatan dapur negara! Di setiap kebijakan yang gelap, kita serbu dengan lampu transparansi!

Bersiaplah, wahai oligark.

Rakyat yang bangkit dari apatisme adalah gelombang tak terbendung. Kami akan menari di atas reruntuhan kekuasaanmu dengan tuntutan di mulut dan cita-cita Proklamasi di hati.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan slogan, tapi peta jalan yang akan kami tegakkan dengan pena, dengan suara, dengan jiwa yang tak lagi takut!

Bangkit Dari Apatisme.

Apatisme adalah kuburan tanpa nisan.

Tapi ketika satu juta kemarahan diatur jadi tuntutan sistematis, ketika kekecewaan diubah jadi dokumen hukum, ketika rakyat berani berkata ‘Cukup!’ dengan bahasa konstitusi, di situlah oligarki gemetar.

Sebab api terkuat bukan yang membakar istana, tapi yang menyala di benak manusia merdeka.

Bangkit, bersatu, berikan Indonesia kembali pada pemilik sahnya: Rakyat!

Janganlah menangis wahai Ibu Pertiwi. Ayo bangkit bersama rakyat merebut kembali Indonesia yang terkoyak.

Dirgahayu RI ke 80.

*) Penulis: Ir. Hadi Prasetyo
Pengamat Sosial Politik; Mantan Kepala Bappeprov Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *