Indonesia: antara Merdeka dan Fatamorgana

Indonesia: antara Merdeka dan Fatamorgana

MAKLUMAT — Sudah 80 tahun usia kemerdekaan Indonesia, tetapi antara pernyataan dan sikap terdapat adanya insinkronisasi, karena makna merdeka sendiri perlahan-lahan terus mengalami penyorasi.

Masyarakat tidak benar-benar mampu mengaktualisasi dan mengeksplorasi term merdeka yang digaungkan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat pada 17 Agustus 1945. Maka Indonesia, pada hakikatnya merupakan fatamorgana yang sampai saat ini tak kunjung menemukan titik cakrawalanya.

Sejak awal berdirinya, Indonesia hidup dalam ancaman perpecahan. Bukan hanya karena luasnya wilayah atau banyaknya suku, tapi karena kontradiksi mendalam yang sudah terpasang sejak kelahirannya.

Di era Soekarno, republik muda ini langsung dihadapkan pada pergolakan bersenjata dari dalam: pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi, serta upaya Belanda menciptakan negara-negara boneka seperti Negara Indonesia Timur dan Pasundan. Republik ini nyaris tak sempat bernapas.

Sementara di pusat, tarik-menarik ideologi antara nasionalisme, Islamisme, dan komunisme menciptakan ketegangan konstan yang akhirnya meledak dalam tragedi 1965. Soekarno mencoba menjahit semuanya dengan ide besar bernama Nasakom. Tapi rajutan ideologis itu tak tahan lama, ia justru memperparah luka yang belum sempat sembuh.

Datanglah Soeharto. Dengan Orde Baru, ia menjanjikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Tapi kestabilan itu dibangun di atas represi. Gerakan separatis seperti GAM di Aceh, FRETILIN di Timor Timur, dan OPM di Papua tetap menyala, tapi disapu dengan kekerasan dan dikubur oleh narasi nasionalisme sempit. Demokrasi dimutilasi, oposisi dikekang, dan Pancasila dijadikan palu untuk memukul semua perbedaan. Indonesia tak bubar, tapi rakyatnya diam bukan karena damai, melainkan karena takut.

Baca Juga  Swasembada Pangan: Pilar Peningkatan Ekonomi Desa saat Ramadan dan Mudik Lebaran

Ketika krisis moneter menghantam Asia pada 1997 dan Soeharto tumbang setahun kemudian, semua yang selama ini ditekan akhirnya meledak. Timor Timor lepas lewat referendum. Konflik komunal membakar Maluku dan Poso. Papua kembali menjerit. Bahkan elemen mahasiswa tak luput dari dinamika konflik, mulai tragedi Malari 1974 dan dipungkasi pada prahara Mei 1998.

Banyak pengamat waktu itu menyamakan situasi Indonesia dengan Yugoslavia: negara yang rapuh, penuh luka, dan tinggal menunggu retakan terakhir. Untuk meredam, pemerintah menerapkan desentralisasi radikal. Otonomi daerah lahir bukan dari niat tulus berbagi kekuasaan, tapi sebagai upaya menyelamatkan NKRI dari kemuakan daerah terhadap pusat.

Lalu datanglah era Jokowi. Dengan wajah sederhana dan jargon revolusi mental, ia tampil seperti harapan baru. Tapi di balik citra populernya, republik ini terus retak perlahan. Polarisasi politik membelah masyarakat ke dalam kamp-kamp yang saling benci: cebong vs kampret, nasionalis vs khilafah, pendukung vs pengkhianat. Oligarki tumbuh subur. Hukum menjadi alat kekuasaan. Papua tetap berdarah. Hutan ditebang tanpa malu. Petani terusir.

Di tengah semua itu, muncul lagi suara yang pernah dianggap gila: “Indonesia bisa bubar.” Ucapan itu datang dari Prabowo Subianto, sang jenderal yang dulu dituding bagian dari Orde Baru, kini tampil sebagai oposisi yang berteriak tentang 2030. Ia mengutip novel fiksi geopolitik berjudul Ghost Fleet, dan memperingatkan bahwa Indonesia bisa hilang dari peta jika dibiarkan dikuasai oleh elite yang serakah dan asing.

Baca Juga  Raja Ampat: Penggalan Surga Dunia dalam Cengkraman Tambang

Peringatan itu sempat jadi bahan tertawaan. Tapi juga sempat membuat banyak orang diam-diam mengangguk. Ironinya, Prabowo yang dulu mengkritik, justru kini memenangkan pemilu dan menjadi Presiden Republik Indonesia. Bersama Gibran (putra Jokowi yang naik lewat celah hukum Mahkamah Konstitusi), ia kini memegang kuasa penuh atas negeri yang dulu katanya di ambang kehancuran.

Dan justru sekarang, di bawah pemerintahannya, isu “Indonesia bubar” kembali muncul. Tapi kali ini bukan dalam bentuk peringatan militeristik, melainkan dalam keluhan lelah dari masyarakat yang mulai merasa tak punya tempat dalam negaranya sendiri. Di media sosial, di ruang obrolan, di meme-meme sarkastik, terdengar suara seperti: “Negaranya sih masih ada. Tapi akalnya udah bubar.” Atau: “Indonesia mah nggak akan bubar, cuma tinggal rangka doang.” Ini bukan tentang wilayah yang memisahkan diri, tapi tentang bubarnya moral, akal sehat, dan rasa keadilan.

Indonesia memang belum bubar secara geografis. Tapi bisa bubar secara etika, bubar sebagai ide bersama. Negara tetap berdiri, tapi warganya hidup dalam keterasingan. Lembaga-lembaga berfungsi secara administratif, tapi kehilangan legitimasi moral. Demokrasi berjalan, tapi tanpa makna. Ketika seorang jenderal memperingatkan bahwa kapal akan karam, lalu kemudian ia diberi kemudi dan kapal tetap bocor, siapa yang akan ia salahkan?

“Indonesia bubar” bukan peristiwa, tapi proses. Kadang datang dengan senapan, kadang dengan konferensi pers. Kadang lewat perang, kadang lewat kompromi kekuasaan yang busuk. Dan yang paling berbahaya adalah ketika semua itu terjadi dengan senyap, dan kita terlalu letih untuk peduli.

Baca Juga  Carok Pilkada: Fanatisme Kaum Alit, Pragmatisme Kaum Elit

Republik ini mungkin tidak akan bubar dalam peta. Tapi bisa habis dalam imajinasi rakyatnya. Dan saat itu terjadi, kita tak perlu peringatan lagi. Karena yang tersisa hanyalah bendera yang masih berkibar, tapi tanpa makna di balik warnanya.

*) Penulis: Achmad Fauzi Nasyiruddin
Pegiat literasi asal Nganjuk, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *