Detik-detik Prabowo Cium Merah Putih dan Kisah Bendera Pusaka yang Tak Lagi Berkibar

Detik-detik Prabowo Cium Merah Putih dan Kisah Bendera Pusaka yang Tak Lagi Berkibar

MAKLUMAT – Matahari pagi 17 Agustus 2025 kembali menjadi saksi. Lapangan Istana Merdeka penuh warna merah putih. Dentuman pasukan, derap langkah, dan lagu kebangsaan berpadu membangun suasana khidmat. Di sinilah, dalam detik-detik Proklamasi ke-80, ada momen yang mencuri perhatian.

Presiden Prabowo Subianto, inspektur upacara kali ini, menunduk hormat. Setelah menerima bendera dari pembawa baki Paskibraka, Bianca Alessia Christabella Lantang, siswi SMA Lentera Harapan Tomohon, Sulawesi Utara, ia mencium Sang Merah Putih. Sebuah gestur penuh makna: penghormatan seorang pemimpin kepada simbol kedaulatan bangsa.

Bianca mundur perlahan. Tim Paskibraka “Indonesia Berdaulat” kemudian mengibarkan bendera. Prosesi berjalan khidmat, dipimpin Arka Bintang Is’adkauthar, siswa SMA Al Hikmah Surabaya. Farrel Argantha Irawan dari DKI Jakarta bertugas sebagai pengerek, El Rayyi Mujahid Faqih dari Kalimantan Timur menjadi pembentang.

Ada yang istimewa tahun ini. Pasukan membentuk formasi angka 80. Di kiri membentuk angka delapan, di kanan membentuk nol. Sebuah simbol sederhana namun kuat: delapan dekade Indonesia merdeka.

Bendera Pusaka, Tak Lagi Berkibar

Namun, di balik megahnya prosesi, ada pertanyaan yang kerap muncul: Mengapa bendera yang dikibarkan bukan Bendera Pusaka peninggalan Ibu Fatmawati?

Kisahnya panjang. Berawal Oktober 1944, ketika Ibu Fatmawati mendapat dua potong kain merah dan putih dari Pimpinan Barisan Propaganda Jepang, Hitoshi Shimizu, melalui pemuda Chairul Basri. Dengan mesin jahit tangan, ia merangkai kain itu menjadi Sang Merah Putih berukuran 200 x 300 sentimeter.

Baca Juga  Khofifah-Emil Bakal Gelar Kampanye Akbar di Jember, Tampilkan Beragam Seni Budaya Jawa Timur

Dan pada Jumat, 17 Agustus 1945, bendera itu pertama kali berkibar di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Soekarno membacakan teks Proklamasi, Kapten Latief Hendraningrat memimpin pengibaran, dan lagu Indonesia Raya pun membahana. Sejak saat itu, Bendera Pusaka menjadi saksi sejarah tiap upacara di Istana.

Tetapi, usia tak bisa ditolak. Serat kain makin rapuh. Atas usul Husein Mutahar, pada 1969 dibuatlah duplikat pertama. Syaratnya, bahan harus benang sutera asli dan pewarna tradisional. Meski akhirnya diganti dengan kain wol Inggris, duplikat itu berkibar 15 tahun, lalu diganti duplikat kedua pada 1985 yang bertahan 30 tahun. Sejak 2015, digunakan duplikat ketiga yang masih setia berkibar setiap 17 Agustus.

Disimpan di Monas

Sejak 2017, Bendera Pusaka asli dipindahkan ke Monumen Nasional (Monas). Ia ditempatkan di Ruang Kemerdekaan, berdampingan dengan naskah asli Proklamasi, Garuda Pancasila, dan peta NKRI.

Penyimpanannya tak main-main. Diletakkan dalam vitrin kaca antipeluru setebal 12 sentimeter, dengan sistem hidrolik naik-turun otomatis. Suhu dan kelembapan dijaga ketat menggunakan humidifier. Ada sensor asap. Ada pengawasan TNI 24 jam.

“Bendera harus dibentangkan, tidak boleh dilipat, tidak boleh kena sinar matahari langsung. Semua terukur, semua terjaga,” kata Endrati Fariani, Kepala Seksi Pelayanan Unit Pengelola Kawasan Monas dikutip dari laman Sekretariat Negara.

Kini, Bendera Pusaka memang tak lagi berkibar di langit. Tapi maknanya jauh melampaui sehelai kain. Ia adalah simbol perjuangan, saksi darah dan nyawa yang dipertaruhkan. Merah dan putih itu hidup dalam tiap langkah bangsa. Dari lapangan upacara sekolah hingga podium Olimpiade. Dari desa terpencil sampai langit istana.

Baca Juga  Ketua Diktilitbang PP Muhammadiyah Tekankan Inovasi dan Transformasi PTMA

Dan setiap 17 Agustus, ketika bendera duplikat perlahan naik ke puncak tiang, kita tahu: semangat Bendera Pusaka tetap tegak. Sama kokohnya dengan tekad bangsa Indonesia untuk menjaga kemerdekaan.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *