Indonesia Raya: Mengingat Stanza yang Terlupakan

Indonesia Raya: Mengingat Stanza yang Terlupakan

MAKLUMAT — Setiap kali bendera Merah Putih dikibarkan, setiap kali perayaan Hari Kemerdekaan digelar, kita selalu menyanyikan lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Namun, hampir semua warga bangsa hanya akrab dengan stanza pertama. Dua stanza lainnya jarang terdengar, bahkan sebagian besar generasi muda tidak mengetahuinya.

Pertanyaan penting muncul: mengapa hanya stanza pertama yang beredar, sementara stanza kedua dan ketiga seakan tersisih dari ingatan kolektif kita sebagai anak Bangsa?

Tiga Stanza, Satu Semangat

Prof Dr H Triyo Supriyatno MAg.
Prof Dr H Triyo Supriyatno MAg.

Ketika W.R. Supratman memperkenalkan Indonesia Raya pada 1928, ia menulisnya dalam tiga stanza. Stanza pertama menekankan kebangkitan nasional dan cinta tanah air.

Stanza kedua berbicara tentang persatuan bangsa dengan seruan, “Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya, di sanalah aku berdiri untuk selama-lamanya.”

Sementara stanza ketiga lebih religius dan reflektif, menegaskan pengabdian total kepada tanah air: “Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semua, marilah kita mendoa Indonesia bahagia.”

Jika stanza pertama adalah teriakan pembebasan, maka stanza kedua adalah ajakan membangun, dan stanza ketiga adalah doa pengabdian. Dengan kata lain, tiga stanza ini adalah satu kesatuan narasi perjuangan: bangkit, membangun, dan berserah.

Mengapa Hanya Stanza Pertama?

Sejak awal penetapan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan, pemerintah kolonial Belanda sudah merasa resah dengan daya mobilisasi lagu ini. Liriknya dianggap membangkitkan semangat perlawanan.

Baca Juga  Halal Sains Penguat Iman

Ketika Indonesia merdeka, ada kebutuhan untuk menyederhanakan simbol kebangsaan agar mudah dipahami dan diterima seluruh lapisan masyarakat.

Maka diputuskanlah bahwa Indonesia Raya hanya dinyanyikan satu stanza dalam acara resmi. Alasannya praktis: lebih singkat, mudah dihafal, dan tidak berlarut-larut dalam prosesi upacara. Namun, alasan praktis ini punya konsekuensi panjang: generasi demi generasi kehilangan kesempatan mengenal keseluruhan visi W.R. Supratman tentang Indonesia.

Padahal, tidak ada aturan resmi yang melarang stanza kedua dan ketiga. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 hanya menyebutkan bahwa dalam acara kenegaraan, Indonesia Raya dinyanyikan satu stanza.

Artinya, dua stanza lainnya tetap sah sebagai bagian dari karya asli W.R. Supratman. Tetapi dalam praktik, publik hanya menginternalisasi stanza pertama.

Kehilangan Kedalaman

Di titik inilah kita perlu kritis. Apakah cukup merayakan kebangsaan hanya dengan satu stanza? Stanza pertama memang kuat, tetapi dengan mengabaikan stanza kedua dan ketiga, kita kehilangan kedalaman makna.

Stanza kedua menekankan persatuan dan keluhuran tanah air: pesan yang relevan ketika bangsa ini kerap terpecah karena politik dan identitas. Ia mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan, melainkan juga menjaga keutuhan bangsa.

Sementara stanza ketiga menghadirkan dimensi spiritual: doa agar Indonesia selalu bahagia. Dalam konteks bangsa yang religius, pesan ini sejalan dengan jati diri kita. Ironisnya, dimensi religius itu justru jarang terdengar.

Baca Juga  PTMA dan SDM Berkualitas di Tahun 2045

Simbol Reduksi Nasionalisme

Fenomena “hilangnya” dua stanza ini mencerminkan kecenderungan kita: menyederhanakan simbol kebangsaan untuk alasan praktis, lalu melupakan substansi. Dengan hanya mengenal stanza pertama, nasionalisme kita cenderung berhenti pada euforia kemerdekaan, tanpa dilengkapi refleksi tentang persatuan dan doa pengabdian.

Dalam jangka panjang, hal ini berkontribusi pada dangkalnya pemahaman generasi muda tentang makna kemerdekaan.

Kita sering merayakan 17 Agustus dengan pesta dan lomba, tetapi kurang merenungkan makna spiritual dan persatuan yang sesungguhnya.

Menghidupkan Kembali Stanza yang Hilang

Sudah saatnya kita menghidupkan kembali stanza kedua dan ketiga. Tidak harus dalam acara kenegaraan, tetapi bisa dalam pendidikan dan kebudayaan. Sekolah-sekolah, misalnya, bisa mengenalkan tiga stanza secara utuh agar siswa memahami bahwa Indonesia Raya bukan sekadar lagu semangat, tetapi juga doa dan cita-cita luhur.

Dalam konteks globalisasi yang kian mengikis identitas, mengingat kembali seluruh karya W.R. Supratman adalah langkah penting untuk memperdalam rasa kebangsaan.

Nasionalisme bukan hanya berteriak “Merdeka!” tetapi juga menjaga persatuan dan menyerahkan diri kepada Tuhan demi bangsa.

Revitalisasi Makna yang hilang

Indonesia Raya adalah warisan agung W.R. Supratman. Membatasi lagu ini hanya pada stanza pertama memang praktis, tetapi kita perlu sadar bahwa di balik itu ada makna yang hilang. Stanza kedua dan ketiga menyimpan pesan penting tentang persatuan dan spiritualitas—dua hal yang justru sangat dibutuhkan bangsa ini hari ini.

Baca Juga  Salah Komunikasi di Balik Polemik Pagar Laut Tangerang

Menghidupkan kembali stanza yang terlupakan bukan sekadar soal musik, melainkan soal politik kebudayaan: bagaimana kita memilih untuk mengingat, atau melupakan, bagian dari identitas kita.

Jika kita ingin membangun Indonesia yang kokoh, sudah saatnya kita tidak hanya menyanyikan kemerdekaan, tetapi juga persatuan dan doa pengabdian yang termaktub dalam tiga stanza Indonesia Raya.

*) Penulis: Prof. Dr. H. Triyo Supriyatno, M.Ag.
Guru Besar dan Wakil Rektor III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *