“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” (Ir. Soekarno)
MAKLUMAT — Indonesia adalah negeri besar dengan berjuta kisah, kata, dan harapan. Sebagian bahkan menyebutnya sebagai bekas peradaban maju bernama Atlantis. Benar atau tidak, itu bukanlah persoalan utama kita. Yang terpenting adalah berkarya untuk menegakkan ‘izzah kaum Muslimin di tanah kepulauan yang luas ini.
Bagi yang belum mengenal lebih jauh, mari kita menengok keistimewaan negeri ini. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar sekaligus memiliki laut terluas di dunia. Terdapat 17.504 pulau, di antaranya 9.634 belum bernama dan 6.000 tak berpenghuni. Ada lebih dari 740 suku bangsa yang hidup bersama di tanah air ini—sebuah keberagaman yang jarang dimiliki bangsa lain. Tak heran, meski berbeda, semangat persatuan tetap terasa.

Dari segi kekayaan alam, negeri ini juga luar biasa. Indonesia adalah penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia, memiliki 18% terumbu karang dunia, dan dianugerahi sumber daya alam serta manusia yang melimpah. Jika Arab Saudi bisa kaya hanya dengan minyak, Jepang dengan sumber daya manusianya, dan Turki dengan pariwisatanya, maka Indonesia sebenarnya punya semuanya.
Namun, mengapa bangsa ini belum mampu bangkit? Bung Karno pernah berkata, kelemahan terbesar bangsa ini adalah kurang percaya pada diri sendiri dan terlalu gemar meniru bangsa lain, padahal bangsa ini lahir dari semangat gotong royong.
Fakta sejarah menunjukkan, Indonesia dulu pernah berjaya. India pernah ditopang oleh beras dari Indonesia, Malaysia pernah mendatangkan tenaga pengajar dari negeri ini, dan militer Indonesia pernah ditakuti dengan julukan Macan Asia. Namun kini, India melaju dengan teknologi antariksa, Malaysia dengan pendidikan futuristik, Korea Selatan dengan riset militernya, sementara Indonesia masih berkutat dengan korupsi, masalah moral, dan krisis kepercayaan diri.
Lingkungan global pun terus bergerak. Tiongkok mengejar dominasi ekonomi dunia, Singapura memperluas daratannya hingga ke laut, Australia kerap bermain di wilayah perairan kita, dan negara-negara Timur Tengah menjadikan minyak sebagai senjata ekonomi. Indonesia? Masih mencari pijakan di tengah pusaran itu semua.
Lebih menyedihkan lagi, kondisi rohani bangsa ini memprihatinkan. Dari ratusan juta Muslim di Indonesia, hanya sekitar 35% yang mampu membaca Al-Quran dengan baik. Jumlah pengusaha baru mencapai 1,65%, jauh tertinggal dibanding Amerika Serikat yang 13%. Jumlah penghafal Al-Quran pun masih sangat kecil.
Inilah tanda bahwa Indonesia sedang sakit. Sakitnya cukup parah. Bukan karena kekurangan potensi, tetapi karena ada segelintir orang yang merusak dari dalam. Fenomena primary self-destruction tampak jelas: hutan-hutan dibakar, asap menutupi langit, tangan-tangan serakah merusak alam dan negeri sendiri.
Di sisi lain, berlaku pula trade off model: aset negara dijual ke pihak asing, moral bangsa dirusak oleh tontonan yang tidak mendidik, gaya hidup hedonis ditanamkan hanya demi keuntungan sesaat. Akibatnya, masa depan generasi penerus terancam.
Yang paling berbahaya adalah ketika rakyat semakin jauh dari agama. Padahal, sejarah mencatat, setiap masyarakat yang maju selalu berawal dari keyakinan yang kokoh akan pertolongan Allah.
Allah berfirman: “Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. ar-Ra’d [13]: 11)
Kini pertanyaan yang muncul: apa yang akan dilakukan Indonesia untuk menatap masa depan?