80 Tahun Merdeka: DPR Dapat Tunjangan Mewah, Balita Mati Cacingan

80 Tahun Merdeka: DPR Dapat Tunjangan Mewah, Balita Mati Cacingan

MAKLUMAT — Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Usia yang menjadi penanda kedewasaan sebuah bangsa. Bangsa yang seharusnya terbebas dari luka-luka mendasar bernama kelaparan, cacingan, dan kematian anak-anak akibat penyakit yang sesungguhnya bisa dicegah dengan sangat sederhana. Namun justru pada usia yang matang, negeri ini dipaksa bercermin pada dua berita yang datang hampir bersamaan, tepatnya pada perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan Bangsa Indonesia, 17 Agustus 2025.

Berita pertama: anggota DPR mendapat tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan, di luar gaji pokok dan puluhan tunjangan lainnya. Bila dijumlahkan, setiap anggota dewan bisa membawa pulang lebih dari Rp70 juta hingga Rp100 juta saban bulan. Fasilitas mobil, perjalanan dinas miliaran rupiah, asuransi kesehatan kelas wahid, hingga uang pensiun tetap menunggu mereka di ujung masa jabatan.

Berita kedua: Raya, bocah tiga tahun dari Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dengan tubuh dipenuhi cacing. Relawan Rumah Teduh menyaksikan cacing keluar dari hidung, mulut, hingga anus anak malang itu. Keluarganya miskin, ibunya mengalami gangguan mental, akses kesehatan nyaris tak pernah disentuh. Inilah potret telanjang: satu sisi negara memanjakan wakil rakyatnya dengan kelimpahan, sisi lain membiarkan anak-anak bangsa mati oleh penyakit abad lampau.

Dua berita itu bukan sekadar kontras. Ia adalah ironi paling getir. Pahit dan menyesakkan dada.

Apakah republik ini didirikan untuk melayani rakyat, atau untuk melayani segelintir elite yang mengatasnamakan rakyat? Bagaimana mungkin kita mengaku beradab, sementara anak-anak bangsa masih terkubur oleh cacingan, penyakit yang mestinya sudah bisa diberantas dengan obat murah seharga seribu rupiah per butir?

Baca Juga  400 Kader Terima Beasiswa Muhammadiyah Senilai Rp 3,5 Miliar

Sungguh menyakitkan ketika mendengar alasan bahwa tunjangan DPR hanyalah “hak” yang diatur peraturan. Hak siapa? Hak mereka yang duduk di kursi empuk Senayan, atau hak rakyat kecil seperti Raya yang bahkan tak punya BPJS untuk berobat? Peraturan hanyalah produk politik. Jika peraturan melahirkan ketimpangan yang memalukan, bukankah itu justru tugas DPR untuk mengubahnya?

Raya adalah alarm keras. Ia menandai kebangkrutan sistem kesehatan dasar, lemahnya peran pemerintah desa hingga pusat, dan absennya solidaritas sosial di akar rumput. Ketika relawan bergerak lebih cepat dibanding birokrasi yang gemuk dan penuh protokoler, kita tahu ada yang salah dalam cara negara bekerja.

Kini, waktunya negara memilih wajahnya. DPR harus memangkas tunjangan mewahnya dan mengalihkannya pada program kesehatan dasar: pemberian obat cacing massal, perbaikan sanitasi desa, dan penguatan puskesmas hingga RT/RW. Pemerintah wajib memastikan tidak ada lagi anak yang mati sia-sia karena penyakit yang bisa dicegah. Relawan telah membuktikan kerja tanpa anggaran; masa negara dengan miliaran rupiah anggaran justru kalah sigap?

Delapan puluh tahun merdeka, kita tidak butuh pesta seremonial atau pidato omon-omon penuh kata-kata indah. Kita butuh aksi nyata: anggaran kesehatan anak jauh lebih penting daripada tunjangan rumah mewah para wakil rakyat. Jika tidak, kemerdekaan ini hanya pesta kosong bagi yang duduk di singgasana kekuasaan, sementara rakyat jelata tetap menjadi korban sejarah.Tobatlah, atau revolusi kembali menyalak seperti 1965 dan 1998.***

Baca Juga  Wakil Direktur RSI Muhammadiyah Sumberrejo dan Anggota DPRD Bojonegoro Meninggal, Usai Bus Jemaah Umrah Alami Tabrakan
*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *