Muhammadiyah–NU: Menangkal Provokasi, Merawat Kebangsaan

Muhammadiyah–NU: Menangkal Provokasi, Merawat Kebangsaan

MAKLUMAT — Pertemuan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, dengan Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, di Yogyakarta, Rabu (20/8/2025), memberi pesan yang jauh lebih menggema daripada sekadar silaturahmi. Ia menegaskan bahwa persaudaraan Muhammadiyah dan NU adalah modal utama bangsa. Modal ini tak boleh diganggu hanya karena riak-riak kecil di ruang publik.

Kita baru saja menyaksikan bagaimana sebuah video pendek di media sosial mampu mengguncang suasana. Narasinya sederhana, menuding Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, seolah hanya mengistimewakan sekolah Muhammadiyah. Publik tahu, Mu’ti adalah Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Tidak sedikit yang mengenalnya sebagai tokoh yang dekat dengan NU, bahkan dijuluki “NU-nya Muhammadiyah.”

Tetapi, logika media sosial memang berbeda dengan realitas. Potongan informasi yang singkat, emosional, dan provokatif, lebih cepat dipercaya ketimbang penjelasan resmi yang panjang dan argumentatif. Inilah jebakan era digital: satu menit video bisa mengalahkan setumpuk data.

Padahal, rilis resmi Kemendikdasmen menunjukkan kerja sama pendidikan berlangsung lintas ormas: dari sekolah Muhammadiyah, NU, hingga lembaga Katolik dan Kristen. Prosesnya bertahap, sesuai kesiapan masing-masing. Tuduhan keberpihakan jelas tidak berdasar.

Yang berbahaya dari narasi semacam ini bukan sekadar rusaknya nama seorang pejabat atau organisasi. Yang terancam justru harmoni sosial. Jika publik terburu-buru menelan mentah isu semacam ini, api kecil bisa membakar persaudaraan besar.

Baca Juga  Pemprov Jatim, Unicef dan Unusa Luncurkan Analisis Situasi Fortifikasi Pangan: Strategi Gizi Jatim untuk Generasi Emas 2045

Di sinilah pentingnya tabayun. Sebuah ajaran sederhana dalam agama, tetapi relevansinya justru semakin besar di zaman ini. Tabayun adalah sikap bijak untuk memeriksa sebelum percaya, menimbang sebelum menyebarkan. Tanpa tabayun, ruang publik kita akan dipenuhi narasi kebisingan yang memecah belah.

Pertemuan Haedar dan Gus Yahya memberi contoh bagaimana tabayun itu dipraktikkan: bertemu, berdialog, meredakan ketegangan. Muhammadiyah dan NU sejak lama berdiri sebagai penopang bangsa, dan tetap akan menjadi benteng ketika polarisasi dan hoaks mencoba meruntuhkan fondasi kebersamaan kita.

Indonesia membutuhkan kesejukan. Editorial ini percaya, harmoni Muhammadiyah dan NU adalah teladan yang menenangkan umat di akar rumput. Jika dua ormas besar ini terus bersatu, setiap perbedaan bisa diolah menjadi energi untuk kebaikan bersama.

Bangsa ini tidak boleh kehilangan persatuan hanya karena provokasi murahan. Tugas kita bersama kini jelas: merawat ukhuwah, memperkuat kebersamaan, dan menjaga Indonesia tetap teduh sebagai rumah besar bagi semua.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *