Idealisme Aktivis yang Runtuh: Kasus Noel dan Ujian Pemerintahan Prabowo–Gibran

Idealisme Aktivis yang Runtuh: Kasus Noel dan Ujian Pemerintahan Prabowo–Gibran

MAKLUMAT — Penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer alias Noel, dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Agustus 2025, mengguncang publik dan menjadi catatan serius bagi pemerintahan Prabowo–Gibran. Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum seorang pejabat, melainkan simbol rapuhnya idealisme aktivis ketika berhadapan dengan godaan kekuasaan.

Penulis: Nurkhan

Noel dikenal luas sebagai aktivis vokal. Ia pernah memimpin Jokowi Mania, lalu bergeser ke barisan relawan Prabowo. Dari jalanan, Noel berhasil menembus lingkar kekuasaan hingga duduk di kursi wakil menteri. Namun, perjalanan politik itu berakhir tragis ketika ia diduga terlibat pemerasan terkait sertifikasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).

Inilah paradoks besar: seorang aktivis yang dulu mengusung semangat moral dan keberpihakan pada rakyat, justru terperangkap dalam praktik yang bertolak belakang dengan nilai perjuangannya. Kasus ini memperlihatkan bahwa idealisme bisa rapuh jika tidak diiringi konsistensi moral ketika sudah memegang jabatan.

OTT Noel juga memberi dampak serius pada citra pemerintahan Prabowo–Gibran. Sebagai kasus korupsi pertama di kabinet baru, ia menjadi noda hitam yang tidak bisa diremehkan. Publik wajar bertanya: bagaimana mungkin pejabat setingkat wakil menteri, yang seharusnya menjadi teladan, justru tersandung kasus korupsi di awal masa jabatan?

Bagi oposisi, peristiwa ini tentu menjadi peluru politik untuk menyerang kredibilitas pemerintah. Namun bagi Prabowo, kasus ini adalah ujian kepemimpinan: mampukah ia menunjukkan ketegasan bahwa pemberantasan korupsi tidak mengenal kompromi? Langkah cepat Presiden yang menegaskan tidak akan membela Noel jika bersalah, patut diapresiasi.

Baca Juga  Bahasa Daerah Mendukung Pendidikan Bermutu

Partai Gerindra juga bergerak cepat dengan mencabut keanggotaan Noel. Ketua Harian DPP Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan: “Pak Prabowo tidak akan pernah membela kader ataupun pejabat yang bersalah. Kalau benar terbukti bersalah, biar hukum yang menindak.” Sikap ini memperlihatkan upaya partai menjaga jarak sekaligus menegaskan komitmen pada penegakan hukum.

Namun, pertanyaan lebih dalam tetap mengemuka: mengapa seorang figur yang tidak melalui kaderisasi partai bisa dengan mudah mendapatkan akses ke jabatan penting? Kasus Noel mengingatkan bahwa rekrutmen politik yang longgar—hanya mengandalkan popularitas tanpa integritas—pada akhirnya bisa menjadi bumerang bagi partai maupun pemerintah.

OTT Noel juga menjadi momentum bagi KPK untuk membuktikan diri. Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga ini kerap dituding kehilangan daya gigit. Dengan menangkap pejabat setingkat wakil menteri, KPK seakan ingin menegaskan kembali posisinya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi.

Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, bahkan menyampaikan apresiasi: “KPK kembali menunjukkan taringnya. Presiden jangan ragu, lanjutkan pemberantasan korupsi. Jangan ada kompromi.” Kutipan ini mencerminkan harapan besar publik agar KPK tetap independen dan berani menindak siapa pun tanpa pandang bulu.

Meski demikian, OTT hanyalah bentuk penindakan, bukan pencegahan. Jika pola ini terus berulang tanpa reformasi sistemik, maka korupsi hanya akan berganti wajah dari satu pejabat ke pejabat lain. Yang dibutuhkan adalah perbaikan tata kelola serta transparansi birokrasi agar peluang penyalahgunaan kekuasaan dapat ditutup sejak awal.

Baca Juga  Dari Sekolah ke Palestina: Antara Gelaja Egosentris Lembaga Dan Menghidupkan Visi Peradaban

Kasus Noel juga menyisakan ironi bagi dunia aktivisme. Banyak aktivis lahir dari jalanan, mengusung idealisme, dan berbicara lantang melawan ketidakadilan. Namun ketika masuk ke lingkar kekuasaan, sebagian kehilangan integritas dan ikut menikmati privilese yang dulu mereka lawan.

Fenomena ini menegaskan bahwa transisi dari aktivis ke pejabat bukan sekadar perubahan peran, melainkan juga ujian moral yang berat. Aktivis yang benar-benar berkomitmen seharusnya membawa semangat pembaruan ke dalam birokrasi, bukan justru terjebak dalam pola lama. Kegagalan Noel adalah peringatan bagi generasi berikutnya: kekuasaan bisa menjadi alat perjuangan, tetapi juga bisa menjadi kuburan idealisme.

OTT Noel adalah cermin besar bagi politik Indonesia. Dari sisi individu, kasus ini menunjukkan bagaimana aktivisme bisa runtuh di hadapan kekuasaan. Dari sisi pemerintah, ia menjadi ujian awal yang harus dijawab dengan ketegasan dan konsistensi. Dari sisi partai, ia mengingatkan bahwa kaderisasi harus berbasis integritas, bukan sekadar popularitas. Dan dari sisi hukum, ia memberi harapan bahwa KPK masih berani, meski tantangan pencegahan korupsi tetap besar.

Pada akhirnya, kasus ini menegaskan satu hal: integritas lebih penting daripada popularitas. Aktivis maupun politisi yang masuk ke dalam kekuasaan harus membuktikan bahwa mereka tidak hanya pandai bersuara, tetapi juga mampu menjaga moralitas dalam setiap langkahnya. Jika tidak, sejarah hanya akan mencatat mereka bukan sebagai pejuang rakyat, melainkan sebagai contoh kegagalan moral di hadapan jabatan.***

Baca Juga  Gus Miftah, Karomah, dan Kesalahan Berpikir
*) Penulis: Nurkhan
Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo Panceng Gresik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *