MAKLUMAT — Gaza kini dijuluki sebagai kuburan jurnalis. Dalam 22 bulan perang, lebih dari 270 wartawan dan pekerja media meregang nyawa akibat serangan Israel. Angka itu menjadikan konflik Gaza sebagai perang paling mematikan bagi jurnalis sepanjang sejarah modern.
Terbaru, lima jurnalis tewas dalam serangan ganda atau double tap di Rumah Sakit Nasser, Khan Younis, Senin (25/8/2025). Serangan udara itu menewaskan sedikitnya 21 orang, termasuk awak media dari Al Jazeera, Reuters, Associated Press (AP), hingga kantor berita lokal.
Rangkaian Duka Panjang
Melansir laporan Al-Jazeera, daftar korban jurnalis terus bertambah sejak serangan Israel ke Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023. Pada 11 Agustus 2024, jurnalis Al Jazeera, Anas al-Sharif (28), gugur bersama tiga rekannya saat berada di tenda media di depan gerbang Rumah Sakit al-Shifa, Kota Gaza.
Sebelumnya, juru kamera Al Jazeera Samer Abudaqa juga tewas pada 14 Desember 2023 ketika meliput bersama kepala biro Gaza Wael Dahdouh, yang turut terluka. Abudaqa dibiarkan kehabisan darah karena tim medis dihalangi masuk oleh tentara Israel. Tak lama kemudian, putra Dahdouh, Hamza, ikut tewas dalam serangan rudal di Khan Younis.
Kisah serupa menimpa Ismail al-Ghoul dan kameramannya, Rami al-Rifi, pada 31 Juli 2024. Keduanya meninggal saat meliput di kamp pengungsi Shati, meski mobil mereka sudah jelas bertanda “Media” dan mereka mengenakan rompi pers.
Angka yang Mengejutkan
Menurut Reporters Without Borders (RSF), tahun 2024 menjadi periode paling mematikan bagi jurnalis, dengan lebih dari 120 orang terbunuh. Sejak awal 2025, serangan demi serangan membuat angka korban semakin melonjak. Rata-rata 13 jurnalis tewas setiap bulan di Gaza.
Laporan Costs of War dari Brown University bahkan mencatat jumlah wartawan yang gugur di Gaza lebih banyak dibanding gabungan korban jurnalis di Perang Dunia I dan II, Perang Vietnam, Perang Korea, konflik Yugoslavia, hingga perang Afghanistan pasca-9/11.
Membungkam Suara
Kondisi ini diperparah dengan larangan bagi media internasional untuk masuk ke Gaza. Akibatnya, jurnalis lokal menjadi satu-satunya saksi mata yang bisa melaporkan fakta di lapangan. Namun, hidup mereka selalu berada di ujung maut.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menegaskan, pembunuhan sistematis terhadap wartawan menciptakan “kekosongan berita” yang berbahaya karena potensi kejahatan perang bisa luput dari dokumentasi.
Al Jazeera menyebut penyerangan terhadap wartawan sebagai “kejahatan perang”. Amnesty International menambahkan, “Israel tidak hanya membunuh jurnalis, tapi juga menyerang jurnalisme itu sendiri dengan mencegah dokumentasi genosida.”