KPT Banda Aceh Soroti Enam Persoalan dalam Wacana Penerapan DPA

KPT Banda Aceh Soroti Enam Persoalan dalam Wacana Penerapan DPA

MAKLUMAT — Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) Banda Aceh, Nursyam SH MHum, menyoroti enam persoalan mendasar terkait wacana pemberlakuan Deffered Prosecution Agreement (DPA) oleh Kejaksaan. Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Hukum memperingati Hari Lahir ke-80 Kejaksaan RI, yang digelar Kejaksaan Tinggi Aceh di Aula Kajati, Banda Aceh, Rabu (27/8/2025).

Seminar yang mengangkat tema ‘Optimalisasi Pendekatan Follow the Asset dan Follow the Money melalui DPA dalam Penanganan Perkara Pidana’ tersebut, menghadirkan tiga narasumber utama. Selain KPT Banda Aceh Nursyam SH MHum, ada juga Guru Besar Hukum Pidana Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Dr Mohd Din SH MH, serta Ketua Peradi Aceh Zulfikar Sawang SH.

Menurut Nursyam, DPA merupakan alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan cara penangguhan penuntutan berdasarkan syarat tertentu.

“Ini merupakan pendekatan progresif dalam sistem peradilan pidana yang memberi kesempatan pelaku untuk memperbaiki kesalahannya tanpa harus menjalani proses peradilan panjang. Utamanya dalam perkara pidana ekonomi yang berpotensi menghancurkan korporasi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Nursyam mengutarakan sekaligus mempertanyakan setidaknya enam persoalan terkait DPA, yakni:

  1. Kapan DPA dilakukan, apakah sebelum pelimpahan berkas perkara atau setelahnya?
  2. Siapa subjek pelaku yang dapat menggunakan DPA, hanya korporasi atau juga individu?
  3. Jenis perkara apa yang dapat diajukan melalui DPA?
  4. Jangka waktu pelaksanaan DPA?
  5. Perlukah izin/persetujuan pengadilan sebelum pelaksanaan DPA?
  6. Bagaimana mekanisme pengawasan selama pelaksanaan DPA?
Baca Juga  KPT Banda Aceh Lantik Drs. Efendi Jadi Panitera, Diminta Jaga Integritas dan Kinerja

Selain itu, Nursyam juga menekankan tiga prinsip penting yang harus diperhatikan dalam penerapan DPA, yaitu: kerjasama (cooperation) untuk membuka peluang negosiasi, kepatuhan (compliance) yang berlaku prospektif maupun retrospektif, serta kompensasi (compensation) bagi korban sebagai bagian dari kepentingan publik.

“Semoga konsep DPA ini masuk pengaturannya dalam RUU KUHAP yang akan datang. Saya menyampaikan terima kasih kepada Kajati Aceh yang telah mengundang saya pada acara penting ini,” tandasnya.

Seminar tersebut dibuka langsung oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Yudi TR SH MH, dan diikuti 226 peserta luring serta ratusan peserta daring, yang berasal dari kalangan mahasiswa, jaksa, hakim, advokat, BUMN/BUMD, LSM, hingga Dharmakarini.

*) Penulis: Rizki Maulizar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *