Saksi Heroisme 10 November, Grahadi Kini Dilalap Amarah

Saksi Heroisme 10 November, Grahadi Kini Dilalap Amarah

MAKLUMAT – Gedung Negara Grahadi, ikon bersejarah di jantung Kota Pahlawan, kembali menjadi sorotan. Bukan karena kemegahan pilar-pilar klasiknya, melainkan akibat kobaran api yang membakar sebagian sisi barat gedung saat aksi unjuk rasa, Ahad (31/8/2025).

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tak bisa menyembunyikan keprihatinannya. “Bagian dari cagar budaya, kita semua prihatin bahwa bagian barat gedung Grahadi ternyata dilempari molotov juga,” ujarnya saat ditemui usai menghadiri pertemuan di Istana Negara, Senin (1/9/2025).

Khofifah menuturkan, sebenarnya massa sempat teredam emosinya. Ia bahkan turun langsung meredakan situasi dengan memenuhi permintaan mereka. “Saya sudah bertelepon dengan Kapolda di depan mereka. Kita sama-sama ke Polrestabes, sejumlah massa yang ditahan sudah kita jemput, dan mereka sudah kembali ke rumah,” jelas Khofifah dikutip dari bloombergtechnoz.

Namun kerusuhan tetap pecah. Kobaran api melalap bagian depan barat gedung. Rumor penjarahan pun sempat merebak. Khofifah dengan tegas membantahnya. “Ndak, bukan. Jadi itu kantor Wagub di Grahadi, bukan rumah. Itu yang terbakar, kantor kerjanya Pak Wagub,” tegasnya. Kini, penyekatan telah dilakukan di sisi kanan dan kiri gedung untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

Sejarah Panjang

Padahal, gedung yang berdiri sejak 1795 ini menyimpan sejarah panjang Surabaya dan Jawa Timur. Grahadi dibangun tak lama setelah Belanda (VOC) berhasil menguasai wilayah Kraton Surabaya, yang sebelumnya bersekutu dengan Trunojoyo dari Madura melawan Mataram. Setelah pengepungan yang alot, VOC menang dan mengambil alih Jawa bagian timur sebagai konsesi.

Baca Juga  Bursa Efek Indonesia Jaring 14 Juta Investor

Dikutip dari Kajian Sejarah dan Identifikasi Komponen Teknis Bangunan Cagar Budaya Grahadi [PDF], penguasa yang ditunjuk VOC, Dirk van Hogendorp, membeli sebidang tanah di selatan kota—yang kala itu masih sepi—dan membangun rumah peristirahatan dengan taman luas bernama tuinhuis. Gedung ini menghadap ke Sungai Kalimas, jalur utama transportasi pada masa itu.

Namun wajah Grahadi berubah pada awal abad ke-19. Perubahan geopolitik di Eropa akibat ekspansi Napoleon Bonaparte membuat Hindia Belanda secara tidak langsung berada di bawah kekuasaan Perancis. Napoleon lalu mengutus Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Daendels menilai bentuk atap Grahadi bergaya Oud Holland Stijl kurang megah. Ia merombaknya total menjadi langgam Empire Style, yang lebih modern dan berwibawa. Orientasi bangunan pun diubah, menghadap ke arah jalan raya, tak lagi semata ke Kalimas. Bentuk atap inilah yang bertahan hingga kini, menjadi identitas khas Grahadi.

Residen Surabaya

Sejak 1870, Grahadi difungsikan sebagai rumah dinas Residen Surabaya, yang membawahi Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Jombang, dan Mojokerto. Pada 1928, statusnya berubah menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Timur. Bahkan saat pendudukan Jepang (1942–1945), gedung ini tetap menjadi pusat kekuasaan lokal.

Masa kemerdekaan menjadikan Grahadi saksi peristiwa penting. Oktober 1945, Presiden Soekarno berunding dengan Jenderal Hawthorn di gedung ini untuk meredam pertempuran Surabaya. Lalu pada 9 November 1945, Gubernur Suryo menolak ultimatum Sekutu untuk menyerah tanpa syarat—sebuah penegasan keberanian rakyat Surabaya yang kemudian meletus menjadi pertempuran heroik 10 November.

Baca Juga  Hasan Nasbi Kembali Pimpin PCO, Nggak Jadi Mundur?

Kini, lebih dari dua abad sejak pertama kali dibangun, Grahadi tetap menjaga wibawanya. Gedung ini masih difungsikan sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur sekaligus lokasi berbagai acara resmi. Sejak era Presiden Joko Widodo, salah satu sayapnya bahkan difungsikan sebagai Ruang Presiden.

Sebagai bangunan cagar budaya, Grahadi seharusnya menjadi ruang edukasi dan wisata sejarah. Namun kobaran api pada amuk 30 Agustus 2025 mengingatkan, bahwa warisan bangsa ini bisa saja tersayat oleh amarah sesaat. Seperti buku tua yang halamannya sobek, Grahadi tetap berdiri. Meski luka barunya kini menjadi bagian dari catatan panjang sejarah Surabaya.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *