MAKLUMAT — Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengungkapkan potret ketimpangan ekonomi yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Ia menyoroti fenomena “Chilean Paradox”, dimana pertumbuhan ekonomi tidak diikuti peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.
Hal itu dia sampaikan ketika menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Riset Advokasi sekaligus pembukaan Sekolah Riset Advokasi, yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat, Jumat (29/8/2025) lalu. Acara tersebut terselenggara atas kolaborasi Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, LHKP PWM Sumatera Barat, serta CELIOS.
“Data menunjukkan, 1% orang terkaya menguasai hampir setengah total kekayaan nasional. Mobilitas sosial pun terhenti, sehingga masyarakat miskin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan meskipun bekerja keras,” ujar Bhima di sesi awal forum.
Tak hanya itu, Bhima juga menyoroti kebijakan fiskal yang timpang, praktik rente SDA, dan pembebanan utang negara yang semakin besar. Ia mendorong keterlibatan anak muda dalam mendorong kebijakan alternatif seperti wealth tax untuk mengurangi ketimpangan tanpa merugikan kelompok rentan.
Direktur Keadilan Fiskal CELIOS, Media Wahyudi Askar, menambahkan bahwa generasi muda harus berani menawarkan gagasan baru berbasis riset. Menurutnya, riset dan advokasi dapat memperkuat tekanan terhadap negara agar melakukan reformasi kebijakan, mulai dari isu perpajakan, perlindungan pekerja, hingga sektor ekstraktif.
Sementara itu, peneliti CELIOS, M Saleh dan Jaya Darmawan, memaparkan persoalan transisi energi. Menurut mereka, proyek-proyek energi terbarukan misalnya di Sumatera Barat, seperti geothermal dan co-firing PLTU, sering dipromosikan sebagai solusi hijau, namun menyimpan masalah. Studi mereka menemukan bahwa proyek geothermal justru berpotensi merugikan masyarakat lokal, sedangkan praktik co-firing justru hanya memperpanjang ketergantungan pada batubara.
Di sisi lain, Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, David Efendi, menegaskan pentingnya peran Muhammadiyah dalam kebijakan pembangunan nasional. “Narasi ‘Kemakmuran Bagi Semua’ harus menjadi paradigma pembangunan yang tidak meminggirkan rakyat kecil dan berorientasi pada pemerataan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa riset advokasi adalah senjata strategis Muhammadiyah untuk memastikan kebijakan publik berjalan sesuai prinsip keadilan sosial, sejalan dengan visi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah pencerahan.
Senada, sebelumnya Wakil Ketua PWM Sumatera Barat, Buya Ki Jal Atri Tanjung, dalam sambutannya juga menekankan pentingnya riset dan advokasi sebagai pilar perjuangan Muhammadiyah di ranah kebijakan publik.
“Melalui tradisi riset yang kokoh, kader Muhammadiyah diharapkan melahirkan gagasan kritis dan solutif dalam menghadapi problem bangsa,” tandasnya.