MAKLUMAT — Di negeri ini, demonstrasi seringkali menjadi bahasa terakhir rakyat ketika kanal-kanal aspirasi lain terasa buntu. Namun, di tengah dentuman gas air mata, sorak-sorai massa, dan deru kendaraan taktis, selalu ada korban yang tak pernah masuk dalam kalkulasi politik: mereka yang hanya kebetulan berada di tempat yang salah, pada waktu yang salah.
Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, meregang nyawa setelah dilindas kendaraan taktis Brimob. Rusdam Diansyah alias Dandi, rekan seprofesinya, menjadi bulan-bulanan demonstran karena dikira intel, padahal ia hanya mencari nafkah.
Dua cerita tragis ini adalah potret luka yang seharusnya membuat kita berhenti sejenak dan bertanya: sampai kapan demokrasi harus dibayar dengan darah orang tak bersalah?
Demokrasi yang Lupa pada Martabat Manusia

Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menegaskan bahwa kedaulatan rakyat tidak boleh melukai kehormatan manusia. Jika negara menggunakan kekerasan secara berlebihan terhadap rakyatnya, atau jika rakyat sendiri melampiaskan kemarahan dengan membabi buta, maka kontrak sosial telah ternoda.
Tragedi Affan dan Dandi memperlihatkan betapa mudahnya martabat manusia dikorbankan, baik oleh aparatus negara maupun oleh kemarahan massa. Keduanya sama-sama salah, karena pada akhirnya orang kecil yang tidak punya kuasa justru menjadi tumbal.
Hannah Arendt pernah mengingatkan bahwa kekerasan muncul ketika dialog politik gagal. Demonstrasi adalah bentuk ekspresi politik yang sah, tetapi ketika institusi negara tidak responsif, protes berubah menjadi letupan amarah yang rawan anarki.
Di sisi lain, ketika aparat hanya melihat rakyat sebagai ancaman ketertiban, bukan sebagai pemilik sah republik, maka kekerasan negara menjadi tak terhindarkan. Affan dan Dandi menjadi korban dari dua kegagalan sekaligus: kegagalan negara dalam mengelola aspirasi, dan kegagalan masyarakat dalam menjaga batas etika dalam berprotes.
Luka yang Menjadi Cermin
Tragedi ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua. Martin Luther King Jr. pernah berkata, “Injustice anywhere is a threat to justice everywhere.” Ketidakadilan yang menimpa satu orang, bahkan seorang pengemudi ojek online, adalah ancaman terhadap keadilan seluruh bangsa. Jika nyawa Affan dan tubuh Dandi dianggap sekadar “collateral damage,” maka demokrasi kita telah kehilangan ruh kemanusiaannya. Demokrasi bukan sekadar prosedur lima tahunan, melainkan penghormatan terhadap martabat setiap warga, siapa pun mereka.
Korban-korban seperti Affan dan Dandi mengingatkan kita pada tesis Giorgio Agamben tentang “bare life”—kehidupan yang bisa diabaikan, diperlakukan seolah-olah tidak memiliki nilai politik. Mereka hanyalah rakyat biasa, tak punya posisi tawar, sehingga mudah dipinggirkan dari narasi besar. Namun, justru di sinilah demokrasi diuji: apakah ia mampu melindungi yang paling lemah, atau hanya melayani yang paling kuat?
Jalan Keluar: Menata Ulang Politik dan Demonstrasi
Kematian Affan dan penderitaan Dandi seharusnya tidak berhenti sebagai berita duka. Ia harus menjadi momentum untuk menata ulang relasi negara, masyarakat sipil, dan mekanisme protes. Ada setidaknya tiga langkah konstruktif yang perlu ditempuh.
Pertama, reformasi keamanan dalam demonstrasi. Polisi dan aparat keamanan harus menempatkan keselamatan sipil sebagai prioritas utama. Konsep human security yang dikembangkan oleh Amartya Sen menekankan bahwa keamanan bukan hanya soal negara, tetapi terutama soal manusia. Penggunaan kekuatan harus selalu proporsional, dengan mekanisme pengawasan independen. Kendaraan taktis bukan untuk menebar maut, melainkan untuk melindungi. Tanpa perubahan paradigma ini, aparat akan selalu dilihat sebagai mesin represi, bukan pelindung rakyat.
Kedua, revitalisasi etika demonstrasi. Demonstrasi adalah hak konstitusional, tetapi bukan berarti bebas dari tanggung jawab moral. John Stuart Mill menekankan bahwa kebebasan sejati hanya bisa hidup jika tidak melukai kebebasan orang lain.
Demonstran harus menginternalisasi prinsip ini: jangan ada kekerasan terhadap sesama warga, jangan ada tuduhan sembrono yang melahirkan salah sasaran, seperti yang menimpa Dandi. Organisasi masyarakat sipil perlu mengembangkan code of conduct demonstrasi: disiplin kolektif, penjaga etika, dan mekanisme perlindungan bagi warga sipil yang terjebak di tengah aksi.
Ketiga, memperkuat kanal dialog politik. Demonstrasi sering menjadi pilihan karena mekanisme aspirasi formal dianggap macet. DPR yang lebih sibuk dengan transaksi politik ketimbang mendengar suara rakyat hanya memperbesar jarak. Di sinilah pentingnya reformasi partai politik dan sistem pemilu agar lahir politisi yang responsif dan berintegritas. Jika kanal politik formal hidup, energi rakyat tidak akan melulu tumpah di jalanan.
Demokrasi deliberatif ala Jürgen Habermas mengajarkan pentingnya ruang diskursus rasional antara rakyat dan negara. Ruang itu harus kita perkuat: forum publik yang terbuka, konsultasi kebijakan yang transparan, serta teknologi digital yang memfasilitasi partisipasi tanpa harus selalu turun ke jalan.
Menolak Normalisasi Tragedi
Bahaya terbesar dari tragedi seperti Affan dan Dandi adalah normalisasi. Ketika publik menganggapnya “hal biasa” dalam demonstrasi, maka kita telah menurunkan standar kemanusiaan. Padahal, setiap nyawa yang hilang adalah alarm keras bagi demokrasi. Negara tidak boleh bersembunyi di balik retorika stabilitas, dan masyarakat tidak boleh berlindung di balik dalih kemarahan. Keduanya sama-sama wajib menghormati batas kemanusiaan.
Simone Weil, seorang filsuf Prancis, pernah menulis: “The most important human need is to be rooted, to know that one’s life is not at the mercy of chance.” Affan dan Dandi menunjukkan bahwa hidup orang kecil di negeri ini terlalu sering menjadi “permainan nasib” yang tragis.
Demokrasi yang sehat seharusnya memastikan bahwa setiap warga, bahkan seorang pengemudi ojek online, merasa hidupnya berharga dan dilindungi.
Menjadi Pelajaran
Tragedi Affan dan Dandi seharusnya menjadi pelajaran moral bagi semua pihak. Bagi negara, ini peringatan untuk menghentikan praktik represif dan memprioritaskan keselamatan rakyat. Bagi masyarakat sipil, ini alarm untuk menegakkan disiplin moral dalam menyampaikan protes. Bagi partai politik dan DPR, ini cambuk untuk membuka kanal aspirasi yang lebih jujur dan responsif. Dan bagi kita semua sebagai warga, ini panggilan untuk tidak lagi mengabaikan penderitaan orang kecil.
Jika demokrasi adalah rumah, maka Affan dan Dandi adalah pengingat bahwa rumah itu sedang bocor parah. Kita bisa saja menutup mata, tetapi cepat atau lambat kita sendiri akan kebasahan.
Satu-satunya jalan adalah memperbaikinya: memperkuat institusi politik, menegakkan etika publik, dan menjadikan kemanusiaan sebagai fondasi. Sebab pada akhirnya, demokrasi yang kehilangan rasa kemanusiaannya hanyalah arena kosong, penuh prosedur tetapi miskin jiwa.