Saatnya Jatim Kurangi Ketergantungan Pajak lewat BUMD

Saatnya Jatim Kurangi Ketergantungan Pajak lewat BUMD

MAKUMAT — Pendapatan daerah merupakan urat nadi pembangunan. Tanpa pendapatan yang kuat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak akan mampu menopang program-program pro-rakyat yang direncanakan. Namun, dari tahun ke tahun masih terlihat masalah mendasar: ketergantungan Jawa Timur terhadap pajak sebagai sumber utama pendapatan.

Dr. Suli Da’im, MM

Pajak tentu penting, tetapi memiliki keterbatasan. Terlalu bergantung pada pajak justru berisiko menambah beban rakyat. Pajak kendaraan bermotor, pajak rokok, maupun pajak lainnya memang masih bisa diandalkan, tetapi bukan berarti bebas dari kritik. Prinsipnya, pajak harus dikelola secara efisien, dengan biaya pemungutan sekecil mungkin, agar hasilnya maksimal untuk pembangunan. Karena itu, unit pemungut pajak seperti UPT Samsat perlu dievaluasi menyeluruh: jumlah pegawai, pemanfaatan teknologi untuk mempercepat layanan, mekanisme kerja sama dengan pihak ketiga, hingga kinerja secara keseluruhan. Jika ada remunerasi atau tunjangan kinerja, maka itu harus berbasis prestasi, bukan sekadar rutinitas.

Meski demikian, akar persoalan tidak hanya terletak pada teknis pemungutan pajak. Lebih dari itu, Pemprov Jatim perlu serius mencari sumber pendapatan alternatif yang berkelanjutan. Di sinilah seharusnya peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) lebih menonjol. Sayangnya, hingga kini hanya segelintir BUMD yang benar-benar sehat. Bank Jatim, misalnya, bisa menjadi contoh bagaimana sebuah BUMD mampu memberikan kontribusi nyata dalam bentuk dividen untuk menguatkan APBD. Tetapi bagaimana dengan BUMD lainnya? Banyak yang justru masih terus “disuapi” dana APBD, padahal seharusnya mereka memberi pemasukan, bukan menjadi beban.

Baca Juga  Tapak Suci dan Tantangan Adab di Era Baru

Kondisi ini jelas tidak sehat. BUMD bukanlah lembaga sosial yang harus terus diberi subsidi, melainkan instrumen ekonomi daerah yang didesain untuk mencetak keuntungan dan mengembalikannya kepada rakyat melalui APBD. Bila pola ini tidak segera diubah, maka BUMD hanya akan menjadi “proyek” rutin tanpa kontribusi signifikan bagi pembangunan Jawa Timur.

Kritik terhadap BUMD ini bukan kali pertama disampaikan. Fraksi PAN berulang kali menekankan pentingnya optimalisasi BUMD. Namun, hingga kini hasilnya belum terlihat nyata. Karena itu, Gubernur perlu memberikan perhatian serius terhadap tata kelola BUMD: mulai dari manajemen, transparansi, hingga strategi bisnis yang jelas.

Dengan pengelolaan yang tepat, BUMD dapat menjadi sumber pendapatan baru yang lebih stabil, tidak membebani rakyat, sekaligus membuka lapangan kerja. Pemprov Jatim memiliki banyak aset dan potensi ekonomi. Tinggal bagaimana keberanian politik dan manajerial itu diwujudkan.Rumah sakit milik pemerintah provinsi seperti RSU Dr. Soetomo, RS Syaiful Anwar, dan RS Dr. Soedono yang sudah berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) semestinya juga dapat memberikan dividen dan tidak lagi bergantung pada asupan APBD.

Sudah saatnya Jawa Timur keluar dari jebakan ketergantungan pada pajak. APBD harus berdiri di atas fondasi yang lebih kokoh: optimalisasi aset daerah dan BUMD yang produktif. Rakyat menunggu, dan tanggung jawab kita adalah memastikan setiap rupiah pendapatan daerah benar-benar kembali untuk kepentingan mereka.

Baca Juga  Akankah Elektabilitas Cak Imin Lebih Baik Ketimbang AHY?

*) Artikel ini sudah naik di laman  pwmu.co***

*) Penulis: Dr. Suli Da’im, MM
Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur dan Wakil Ketua MPID PWM Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *