MAKLUMAT — Rencana pelaporan influencer Ferry Irwandi oleh Komandan Satuan Siber Mabes TNI ke Polda Metro Jaya pada Senin (8/9/2025) menjadi sorotan publik. Ferry, yang dikenal sebagai pendiri Malaka Project, sekaligus content creator yang vokal dalam mengkritik berbagai isu nasional, kini terancam menghadapi proses hukum.
Menanggapi hal tersebut, pengamat hukum sekaligus akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), Dr Aan Eko Widiarto SH MHum, menekankan bahwa penggunaan instrumen pemidanaan sebagai respons terhadap kritik tidak tepat. Menurutnya, langkah seperti ini berpotensi menimbulkan persoalan baru dalam kehidupan demokrasi.
“Seringkali ada proses pembalasan ketika kritik dihadapi dengan pemidanaan, dengan ancaman,” ujar Aan, dikutip dari laman resmi UB, Kamis (11/9/2025).
Aan menjelaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus pasal mengenai “menyerang kehormatan atau nama baik” dalam UU ITE. Dengan keputusan tersebut, lembaga negara maupun korporasi tidak lagi memiliki dasar hukum untuk menjerat seseorang melalui pasal itu.
Ia mengingatkan bahwa pelaporan terhadap kritik tetap dapat menimbulkan efek negatif di ruang publik. “Orang dilaporkan, diteror, dikejar-kejar, walaupun nanti dalam proses hukum tidak terbukti. Ini sudah menjadi gangguan tersendiri dalam ranah publik,” tegasnya.
Menurutnya, kasus ini jua sekaligus membuka ruang diskusi lebih luas mengenai keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penegakan hukum di Indonesia. Ia menambahkan, sikap bijak dari aparat dan pejabat negara sangat penting dalam menyikapi kritik.
“Ke depan, seharusnya aparat menyadari bahwa kritik adalah hal wajar. Jangan sampai ada upaya yang over-act sehingga memicu perlawanan balik,” pungkasnya.