MAKLUMAT — Sidang lanjutan perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi kembali digelar pada Kamis (11/9/2025) dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pihak pemohon. Namun, DPR yang mestinya hadir untuk memberikan keterangan kembali absen. Hal itu dianggap memperlihatkan lemahnya akuntabilitas lembaga legislatif dalam mengawal kebijakan yang berdampak luas pada rakyat.
Dalam persidangan, hadir dua ahli, yakni Herlambang Perdana Wiratraman (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada/UGM) dan Dianto Bachriadi (Agrarian Resource Center), serta satu saksi warga Rempang, Sukri. Dari pihak pemerintah, hadir kuasa hukum presiden bersama perwakilan Kemenko Perekonomian, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Politik-Hukum Kapitalisme Negara
Ahli hukum UGM, Herlambang Perdana Wiratraman, menilai norma-norma PSN dalam UU Cipta Kerja mencerminkan politik-hukum yang mengistimewakan kapitalisme negara.
“Frasa seperti kemudahan dan percepatan PSN menunjukkan karakter hukum yang ramah pada liberalisasi pasar. Ini bagian dari politik hukum pengistimewaan dalam logika kapitalisme, masalah ini dapat dilihat dari pelaksanaannya di berbagai daerah yang memicu berbagai praktik perampasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, tapi sudah bermasalah dengan konsep. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya norma-noma paradoks yang tertuang pada Undang-Undangnya,” ujar Herlambang.
Ia mengingatkan bahwa sejak masa kolonial, pembangunan infrastruktur lebih sering melayani kepentingan modal ketimbang rakyat.
Mengutip Mohammad Hatta, Herlambang menyebut pembangunan yang berorientasi investasi tanpa keadilan sosial hanya mengulang pola kolonialisme: jalan, kereta api, dan pelabuhan dibangun bukan untuk rakyat, melainkan untuk perusahaan besar.
“PSN telah memakan korban begitu banyak, menyengsarakan warga, mengusir mereka dari kampung dan ruang hidupnya. Padahal Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 jelas menyatakan tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” tegas Herlambang.
Kesesatan Logika Pertumbuhan Ekonomi
Sementara itu, Dianto Bachriadi menilai PSN dibangun di atas “kesesatan logika pertumbuhan ekonomi”. Menurutnya, pemerintah memaknai pembangunan hanya sebatas fisik infrastruktur tanpa mempertimbangkan dampak sosial maupun ekologis.
“Saya tidak menemukan makna strategis dalam PSN sebagaimana digagas dalam hukum. Yang dimaksud strategis seharusnya adalah rencana terukur untuk kesejahteraan umum, keadilan sosial, serta perlindungan rakyat. PSN justru diperlakukan sebagai tolok ukur tunggal pembangunan yang mengalienasi budaya, sosial, dan makna, ini cara pandang yang keliru,” jelas Dianto.
Ia menyebut sedikitnya tiga masalah dalam norma PSN di UU Cipta Kerja:
- Menyamakan percepatan PSN dengan kepentingan umum.
- Memasukkan proyek komersial dalam kategori kepentingan umum.
- Membuka peluang PSN dikuasai swasta, bukan negara.
“Ketika UU Cipta Kerja terbit, PSN tidak lagi sepenuhnya dikuasai pemerintah atau BUMN. Ia dapat diserahkan ke swasta, termasuk dalam hal pengadaan tanah. Artinya, negara menyerahkan ruang hidup rakyat ke logika keuntungan investor,” tandas Dianto.
Suara Warga Rempang
Saksi pemohon, Sukri, warga Rempang, menegaskan klaim pemerintah bahwa Rempang adalah tanah kosong adalah keliru.
“Saya lahir di Rempang, begitu juga bapak dan nenek moyang saya. Rempang bukan tanah kosong, ada penghuninya sejak lama,” turu Sukri.
“Sebelum PSN masuk, kami hidup sejahtera dari kebun, sehari bisa mendapatkan hingga Rp170 ribu per orang. Banyak anak Rempang kuliah dengan biaya mandiri, tetapi semua itu hilang sejak kehadiran PT. Makmur Elok Graha,” sambungnya.
Sukri juga mengingatkan peristiwa kekerasan pada 7 September 2023 ketika aparat memaksa masuk ke Rempang.
“Pasca kejadian 7 September, waktu itu tim terpadu berusaha masuk ke Rempang dengan menggunakan kekerasan, di mana warga kami ditembaki dengan gas air mata. Dan para tim terpadu tidak hanya menembak masyarakat dengan gas air mata, tetapi mereka menembaki rumah-rumah warga, sekolah-sekolah dari SD serta SMP, sehingga terjadilah pemukulan. Hari tersebut merupakan peristiwa berdarah bagi kami,” kisanya.
Hakim Minta Data Konkret Pemerintah
Menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arsul Sani kembali menegaskan permintaan agar pemerintah menghadirkan data konkret terkait klaim manfaat PSN.
“Harap disediakan data terkait pertumbuhan ekonomi, impact PSN dalam konteks pertumbuhan, dibandingkan sebelum dan sesudah PSN. Kami butuh perbandingan apple to apple, termasuk data investasi 5–10 tahun terakhir sebelum dan sesudah UU Cipta Kerja,” tegas Arsul.
Menurut rencana, sidang lanjutan bakal dilangsungkan pada pada Senin, 22 September 2025 mendatang pukul 10.30 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR (yang hingga kini masih mangkir), saksi pemohon, serta ahli dan saksi dari Presiden.