MAKLUMAT — Pulau Pari di Kepulauan Seribu kerap disebut mutiara wisata Jakarta. Laut biru, pasir putih, dan suasana tenang jadi daya tarik. Tapi di balik itu, warga pulau kecil ini menyimpan kisah getir. Lebih dari sepuluh tahun, mereka berhadapan dengan perusahaan yang mengklaim hampir seluruh tanah.
Bagi warga, terutama para perempuan, Pulau Pari bukan sekadar tempat tinggal. Pulau ini adalah rumah, identitas, sekaligus warisan turun-temurun. Karena itu, ketika klaim perusahaan semakin kuat, lahirlah sebuah perlawanan.
Ati Sukamti, salah satu warga, masih ingat momen mencekam ketika aparat datang mengukur lahan. “Kami perempuan berdiri di pagar depan, menghadang aparat. Ada rasa takut, tapi kalau diam, pulau ini bisa hilang,” katanya.
Dari pengalaman itu, warga membentuk Kelompok Perempuan Pulau Pari. Mereka berdiri sebagai pagar betis, menghadang penggusuran, dan membangun solidaritas agar pulau tetap milik warga.
Kebun, Dapur, dan Kreativitas
Perlawanan tidak berhenti di jalan. Perempuan juga menanami lahan kosong, membuka kebun, dan menjaga pantai agar tetap bisa diakses warga. Dari dapur, mereka mengolah rumput laut menjadi dodol dan manisan, ikan asin jadi produk andalan, hingga makanan tradisional seperti blencong (keong sawah) dan umbi kecundang (suweg). “Kami ingin menambah penghasilan, sekaligus membuktikan bahwa kami hidup dan bekerja di sini,” ujar Ati yang kini menjadi bendahara kelompok.
Kesadaran untuk mandiri membuat mereka mendirikan koperasi. Modal awalnya hanya Rp15 ribu per bulan dari tiap anggota. Lambat laun terkumpul sekitar Rp5 juta. Dari situlah usaha bersama dijalankan.
Kini koperasi berfungsi sebagai wadah simpan pinjam. Anggota bisa bergiliran meminjam, lalu mencicil dengan bunga kecil. Dari penjualan ikan asin dan produk rumput laut, koperasi memutar modal agar kelompok tetap bertahan.
“Kurang lebih ada 50 perempuan yang terlibat. Kami ini sukarelawan. Ingatnya cuma satu: Pulau Pari jangan sampai dikuasai orang asing,” tegas Ati.
Harapan yang Tumbuh
Gerakan perempuan Pulau Pari mendapat dukungan berbagai organisasi masyarakat sipil. Namun bagi mereka, dukungan terbesar adalah semangat untuk menjaga laut tetap lestari dan pulau tetap milik warga.
“Kalau laut dikelola dengan baik, manusia juga bisa hidup selamat dan bahagia. Agama tidak pernah mengajarkan merusak laut demi segelintir orang,” kata Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia.
Parid Ridwanuddin, Campaign Manager GreenFaith Indonesia, menyebut perempuan Pulau Pari memainkan tiga peran penting: menjaga kedaulatan pulau, mengelola lahan agar tetap bermanfaat, dan menggerakkan ekonomi lokal.
Kisah perempuan Pulau Pari adalah kisah keberanian melawan ketidakadilan. Mereka menjaga laut sebagai rumah, identitas, dan masa depan anak-anak. Selama perempuan Pulau Pari berdiri tegak, pulau kecil itu tidak akan mudah direbut siapa pun.***