PP Muhammadiyah: Pengakuan Palestina Tak Ubah Nasib Gaza

PP Muhammadiyah: Pengakuan Palestina Tak Ubah Nasib Gaza

MAKLUMAT – Isu Palestina kembali menjadi sorotan utama dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU-PBB) yang berlangsung pada 23–24 September 2025. Sorotan ini muncul setelah sejumlah negara Barat berpengaruh, seperti Inggris dan Perancis—dua dari lima anggota Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto—akhirnya mengakui negara Palestina.

Wakil Ketua Lembaga Hubungan Kerjasama Internasional (LHKI) PP Muhammadiyah, Yasmi Ardiyansyah, menilai pengakuan tersebut historis, namun terlambat. Menurutnya, solusi dua negara sebenarnya sudah digagas sejak 1947 melalui keputusan ‘Rencana Partisi’ PBB.

“Jika PBB sudah mengeluarkan rencana partisi, seharusnya sejak itu Palestina dan Israel sudah diakui banyak negara,” tegas Yasmi dalam keterangan tertulis, Rabu (24/9/2025).

Yasmi menekankan bahwa pengakuan negara-negara Barat baru terjadi setelah tekanan publik meningkat, khususnya ketika lebih dari 65 ribu warga Gaza—mayoritas perempuan dan anak-anak—tewas akibat genosida dan kelaparan yang dilakukan oleh Israel dalam dua tahun terakhir.

Meski pengakuan internasional terhadap Palestina kini mencapai sekitar 150 negara, Yasmi menilai hal itu tidak serta-merta mengubah kondisi di Gaza. “Jawabannya jelas, itu adalah utopia. Genosida dan pelaparan di Gaza akan terus berlangsung,” katanya.

Hambatan utama perdamaian Palestina, menurut Yasmi, adalah Israel yang didukung Amerika Serikat secara penuh. Dukungan negara-negara lain terhadap Palestina lebih banyak bersifat retorika dan diplomatik, sementara Israel memperoleh bantuan ekonomi, politik, diplomatik, hingga militer dari AS dan sekutunya, termasuk Inggris, Perancis, dan Jerman.

Baca Juga  KHGT Tersedia di Tiga Platform dan Tiga Bahasa, Permudah Akses Umat Islam Global

“Secara hitungan matematis, sampai kiamat pun Palestina tidak akan menang,” ujar Yasmi.

Untuk mencapai kemerdekaan Palestina, Yasmi menekankan perlunya pendekatan multifaktor. Selain dukungan diplomatik, boikot produk-produk strategis Israel, penurunan status diplomatik, hingga pemutusan hubungan diplomatik dapat menjadi instrumen tekanan.

Selain itu, dukungan masyarakat sipil juga dianggap signifikan. Fenomena Global Sumud Flotilla dan demonstrasi masif pro-Palestina di berbagai negara menjadi catatan sejarah yang penting. “Dukungan masyarakat sipil terasa jauh lebih nyata dibanding pidato-pidato di panggung dunia yang hanya mengecam namun miskin daya,” ungkapnya.

Faktor terakhir, menurut Yasmi, adalah opsi militer. Penguatan pasukan tempur yang mampu menandingi Israel Defense Force (IDF) menjadi syarat bagi Palestina untuk meraih kemerdekaan. Jika semua faktor gagal, perlawanan bersenjata rakyat Palestina, terutama di Gaza, dianggap sebagai satu-satunya jalan.

“Sejarah menunjukkan, kemerdekaan suatu bangsa umumnya diraih dengan perlawanan senjata. Negosiasi perdamaian lebih sebagai penyerta,” pungkas Yasmi.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *