Mberot di Malang Raya: Dari Stigma Negatif ke Media Pendidikan Karakter

Mberot di Malang Raya: Dari Stigma Negatif ke Media Pendidikan Karakter

MAKLUMAT – Suara gamelan berpadu dengan teriakan penonton. Anak-anak, remaja hingga orang dewasa dengan wajah penuh riasan turut menari lincah, menirukan gerakan banteng. Begitulah suasana pertunjukan mberot di Malang Raya.

Bagi sebagian orang, mberot sekadar hiburan rakyat yang riuh. Namun bagi yang lain, kesenian ini identik dengan kericuhan, minuman keras, dan citra negatif. Stigma itu sudah lama melekat, meski mberot terus tumbuh dan populer.

Data mencatat ada lebih dari 1.300 kelompok bantengan yang menaungi kesenian ini. Dari dusun hingga alun-alun kota, mberot rutin dipentaskan dan menarik banyak penonton. Bahkan, generasi alpha—anak-anak usia sekolah dasar—turut ambil bagian.

Fenomena ini memantik perhatian lima mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Mereka melihat mberot bukan semata hiburan, melainkan ruang potensial untuk pendidikan karakter anak-anak.

Pendidikan Karakter di Balik Panggung Seni

Penelitian bertajuk Gayenge Malang: Kajian Pambudi Luhur Budaya Mberot dipimpin Meilisa Tri Adinda Putri. Bersama empat rekannya, ia mengajukan riset ini dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH).

“Selama ini mberot sering menonjolkan sisi negatif. Padahal di dalamnya tersimpan nilai-nilai luhur yang bisa membentuk karakter,” ujar Meilisa.

Untuk menggali nilai itu, mereka menggunakan metode gioia, sebuah teknik analisis kualitatif yang memungkinkan peneliti menemukan makna dari berbagai sudut pandang. Observasi berjalan di Kabupaten Malang, mulai dari Desa Tajinan hingga Kecamatan Turen, serta di Kota Malang dan Batu.

Baca Juga  Wow! Wisudawan Terbaik UMM Pendiri Startup

Metode penilitian menyasar para pelaku mberot usia sekolah dasar, pemilik sanggar, guru, kepala sekolah, hingga penonton. Hasil wawancara terungkap bahwa mberot memberi banyak manfaat: anak-anak jadi lebih mudah bersosialisasi, jauh dari gawai, hingga terlatih motorik kasarnya.

Citra Positif Ekonomi Keluarga

Seorang pemilik sanggar menegaskan pentingnya mengenalkan mberot kepada generasi muda. “Agar kita tidak kehilangan budaya yang sudah ada sejak lama,” katanya.

Bagi tim peneliti UMM, mberot bukan soal panggung hiburan rakyat. Lebih dari itu, ia bisa menjadi ruang pendidikan karakter yang kontekstual sekaligus upaya pelestarian budaya lokal.

Di tengah arus modernisasi, ketika anak-anak lebih akrab dengan gawai, mberot bisa menjadi jembatan. Dari stigma menuju nilai, dari tontonan menuju tuntunan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *