Duka Gaza, Duka Kita

Duka Gaza, Duka Kita

MAKLUMATKabar dari Gaza selalu membawa luka yang sulit dijelaskan. Di balik dentuman bom dan sirene yang meraung di udara, ada tangisan bayi yang kehabisan susu, doa ibu-ibu yang putus asa, dan anak-anak yang tubuhnya ringkih menanti secuil roti untuk bertahan hidup. Gaza selama ini menjadi potret paling getir dari kegagalan dunia menjaga kemanusiaan.

Penulis: Ahmad Fatoni

Laporan PBB menyebut lebih dari 85 persen warga Gaza hidup di ambang kelaparan. Angka itu bukan sekadar statistik; ia adalah wajah manusia nyata yang harus memilih antara membeli setetes air atau sepotong roti basi. Save the Children mencatat, lebih dari 320 ribu anak balita terancam gizi buruk. Sejak awal 2025, puluhan anak telah meninggal bukan karena peluru atau bom, melainkan karena lambung mereka terlalu kosong (https://www.ochaopt.org/content/reported-impact-snapshot-gaza-strip-22-januari-2025).

Rumah sakit di Gaza nyaris lumpuh. Obat-obatan menipis, listrik padam berjam-jam, dan pasien kritis harus dioperasi dengan cahaya seadanya. Seorang dokter pernah menulis di akun pribadinya, “Kami memilih siapa yang hidup dan siapa yang mati, karena daya listrik hanya cukup untuk satu mesin ventilator.” (https://support.savethechildren.or.id/kesehatan-anak).

Blokade yang diperketat sejak Maret 2025 membuat harga kebutuhan pokok meroket. Tepung 25 kilogram bisa mencapai ratusan dolar, jumlah yang mustahil dibeli keluarga rata-rata Gaza. World Food Programme (WFP) hanya mampu mengirim separuh dari target bantuan harian, itu pun sering tertahan di perbatasan. Akibatnya, ribuan keluarga kini tidur di tenda darurat, di bawah dingin malam dan terik siang, tanpa kepastian hari esok.

Baca Juga  Donald Trump Ingin "Ambil Alih" Gaza, Relokasi Warga Palestina, dan Bangun "Riviera Timur Tengah"

Namun Gaza bukan hanya kisah derita. Gaza adalah kisah keteguhan hati. Konsep sumud—ketabahan orang Palestina untuk tetap bertahan hidup—dalam setiap langkah mereka. Di tengah blokade, ada dapur umum Gaza Soup Kitchen yang tetap memasak makanan sederhana untuk ribuan orang setiap hari. Di tengah kematian, para jurnalis lokal tetap mengabadikan kebenaran, meski profesi mereka menjadi salah satu yang paling berisiko di dunia.

 Solidaritas Dunia

Solidaritas dunia pun terus berdenyut. Global Sumud Flotilla mencoba membuka jalur laut menembus blokade. Beberapa negara, termasuk Australia, sudah berani mengakui Palestina sebagai negara. Ini adalah sinyal politik yang penting, sebuah langkah kecil tapi berarti, yang menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan Palestina bukanlah utopia. Ia adalah kenyataan yang menunggu diwujudkan.

Pidato Presiden Prabowo Subianto di KTT PBB baru-baru ini untuk Palestina mendapat sorotan luas. Ia menekankan bahwa dunia harus segera mengakui Palestina, menghentikan tragedi kemanusiaan di Gaza, dan Indonesia siap mengirim pasukan penjaga perdamaian. Ia juga menegaskan bahwa ribuan nyawa tak berdosa—kebanyakan perempuan dan anak-anak—telah terbunuh, sementara kelaparan terus mengancam. Namun, sebuah pidato sehebat apapun, tidak akan berarti tanpa tindak lanjut nyata.

Data terkini menunjukkan bahwa meski diplomasi tingkat global semakin menguat, situasi di lapangan belum membaik secara signifikan. Konvoi bantuan masih terhambat di perbatasan Rafah dan Erez. Rumah sakit kekurangan bahan bakar dan oksigen. Banyak wilayah Gaza tetap terisolasi dari distribusi bantuan resmi. Jumlah pengungsi internal terus meningkat, dan angka kematian anak balita akibat penyakit serta malnutrisi bertambah dari hari ke hari.

Baca Juga  Negara Palestina: Pengakuan Internasional atau Perangkap Baru

Pidato Prabowo memang memberi dorongan moral, namun ujian sesungguhnya adalah bagaimana dunia internasional, termasuk Indonesia, bisa memastikan bahwa deklarasi di podium PBB berbuah pada perubahan nyata di Gaza.

Di sisi lain, diplomasi internasional masih mencari celah. Ada usulan jeda kemanusiaan 48–72 jam, pembebasan sandera, dan pembukaan jalur bantuan. Meski sering gagal di tengah jalan, upaya ini tetap penting sebagai pintu menuju gencatan senjata yang lebih permanen. Dunia tidak boleh lelah, sebab setiap menit keterlambatan berarti ada nyawa yang terenggut sia-sia.

 Harapan Kemerdekaan Palestina

Pertanyaan yang harus kita ajukan bersama adalah sampai kapan Gaza di Palestina akan dibiarkan menjadi penjara terbesar di dunia? Sampai kapan kita hanya menonton penderitaan itu lewat layar televisi, tanpa ada langkah nyata untuk menghentikannya?

Palestina berhak merdeka. Mereka berhak hidup di tanahnya sendiri tanpa ketakutan. Anak-anak Palestina berhak bersekolah tanpa suara bom. Para ibu berhak menyiapkan makanan tanpa dihantui kelaparan. Para ayah berhak bekerja tanpa khawatir apakah keluarganya masih hidup ketika ia pulang.

Masa depan Palestina tidak boleh ditentukan oleh kekerasan, melainkan oleh keadilan dan kemanusiaan. Karena itu, blokade harus diakhiri, jalur bantuan harus dibuka, dan diplomasi harus tulus dijalankan. Dunia perlu memastikan bahwa penderitaan Gaza tidak lagi sekadar headline, tetapi titik balik menuju kemerdekaan Palestina yang utuh.

Baca Juga  Pengakuan Palestina Tak Bermakna Jika Genosida Berlanjut, Amnesty International: Inggris Harus Hentikan Ekspor Senjata ke Israel

Keberhasilan solusi di atas akan bergantung pada kemauan politik global dan kesadaran kolektif bahwa setiap nyawa di Gaza bernilai sama dengan nyawa di belahan dunia mana pun. Media, lembaga pendidikan, dan masyarakat dunia dapat berperan aktif dalam membentuk opini publik yang menolak aneka tindak kekerasan.

Rakyat Gaza hingga kini kenyataannya masih larut dalam duka, namun selama ada cahaya di ujung lorong, harapan tetap ada. Tugas dunia adalah menjaga agar cahaya itu tetap menyala melalui dukungan kemanusiaan yang konsisten, tekanan diplomatik yang efektif, dan jihad kemanusiaan yang terus menguat.

Tugas kita, sebagai bagian dari umat manusia, adalah menjaga agar cahaya harapan itu tetap menyala. Gaza memang terkepung, tetapi semangat kemerdekaan Palestina akan selalu menemukan jalan terang untuk mempertahankan hidup dan kehidupan.***

*) Penulis: Ahmad Fatoni
Dosen Fakultas Agama Islam UMM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *