MAKLUMAT — Polemik dugaan penggunaan minyak babi dalam proses pembuatan wadah Makan Bergizi Gratis (MBG) mengundang perhatian luas, tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari lembaga keagamaan. Badan Gizi Nasional (BGN) mengambil langkah proaktif dengan meminta penilaian keagamaan dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sejak awal, sebagian besar wadah makanan MBG dipasok dari luar negeri. Alasannya sederhana: kualitasnya dianggap lebih baik dan produksinya masif. Namun, seiring berkembangnya industri dalam negeri, kini terdapat 38 perusahaan lokal yang mampu menghasilkan lebih dari 11 juta unit wadah. Meski demikian, jumlah tersebut belum cukup memenuhi kebutuhan program, sehingga impor tetap dilakukan.
Kepala BGN, Dadan Hidayana, menjelaskan secara detail proses pembuatan wadah makanan. “Penggunaan minyak diperlukan sebagai pelumas mesin saat proses stamping atau pembentukan lembaran logam menjadi produk jadi. Tapi bahan utama wadah terdiri dari kombinasi kromium dan nikel, sehingga minyak tidak melekat pada produk akhir,” jelas Dadan seperti dilansir laman resmi Muhammadiyah, Selasa (30/9/2025).
Dadan menegaskan, seluruh produk impor wajib memiliki sertifikat halal. “BGN membuka ruang bagi lembaga keagamaan, termasuk Muhammadiyah, untuk meninjau langsung pabrik dan proses produksinya. Setahu saya, babi kalau dimakan haram, kalau menempel najis, bagaimana jika sudah dibersihkan? Silakan ditinjau dari sisi fikih,” ujarnya.
Selain kehalalan, keamanan pangan juga menjadi prioritas. Dadan menambahkan, kasus keracunan yang sempat terjadi bukan disebabkan oleh food tray, melainkan bahan makanan yang kurang segar, proses pengolahan yang tidak sehat, serta penggunaan air yang tidak memenuhi standar.
Dari perspektif keagamaan, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Wawan Gunawan Abdul Wahid, menekankan bahwa wadah makan berbahan nabati pada dasarnya boleh digunakan. “Kalau dibuat di Indonesia, insyaAllah halal. Kita husnudzan itu halal,” ujar Wawan, menegaskan pentingnya mendukung produksi dalam negeri.
Namun, Wawan juga menyoroti produk impor. Menurutnya, perlu kajian lebih mendalam untuk memastikan kehalalannya. “Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tegas mengharamkan penggunaan bahan dari babi, begitu pula sebagian ulama di beberapa wilayah Nahdlatul Ulama. Prinsip utama yang harus dijadikan pijakan adalah memilih yang halalan thayyiban sebagai bagian dari menjaga agama (hifz al-din),” jelasnya.
Majelis Tarjih sendiri berencana melakukan kajian lebih mendalam, baik dari sisi fikih maupun teknis, untuk memberikan kepastian dan rekomendasi. Tujuannya bukan hanya menegaskan status halal atau haram, tetapi juga memastikan program MBG tetap berjalan dengan aman, sehat, dan sesuai nilai keagamaan.
Polemik ini menghadirkan dua pelajaran penting: pertama, bahwa produksi dalam negeri semakin mampu bersaing dengan produk impor, dan kedua, pentingnya keterlibatan lembaga keagamaan dalam memastikan standar halal terpenuhi. Dengan kombinasi keduanya, program MBG diharapkan tetap menjadi simbol kepedulian pemerintah terhadap kesehatan anak-anak, tanpa mengabaikan nilai agama yang diyakini masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat pun menanti hasil kajian Majelis Tarjih Muhammadiyah. Apakah wadah makan MBG benar-benar aman dan halal? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi acuan bagi keberlanjutan program, sekaligus memberi pelajaran tentang pentingnya sinergi antara pemerintah, industri, dan lembaga keagamaan.