Purbaya dan Dana Nganggur Pemda: Jalan Cepat Atau Jalan Berliku?

Purbaya dan Dana Nganggur Pemda: Jalan Cepat Atau Jalan Berliku?

MAKLUMAT — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali membuat kejutan. Pernyataannya untuk mengambil alih dana pemerintah daerah (pemda) yang masih mengendap di rekening bank menimbulkan kegaduhan baru di tengah isu fiskal.

Hingga 25 September 2025, realisasi belanja APBD baru menyentuh Rp656,4 triliun atau 46,86% dari total pagu Rp1.400 triliun. Padahal, dana yang sudah terparkir di bank per Agustus 2025 mencapai Rp233,11 triliun, angka yang bahkan lebih tinggi dari tahun lalu.

Nurkhan.
Penulis: Nurkhan

“Kalau uang ini terus tidur, pusat akan ambil alih dan mengelola agar lebih produktif. Jangan biarkan uang rakyat hanya jadi angka di rekening,” tegas Purbaya dalam keterangan persnya. Ia menambahkan bahwa kebutuhan operasional pemda pada Januari–Februari tetap akan diperhitungkan. Namun intinya jelas: pemerintah pusat tidak bisa membiarkan dana ratusan triliun hanya menjadi saldo menganggur.

Secara logika ekonomi, langkah Purbaya masuk akal. Uang sebesar Rp233 triliun yang dibiarkan parkir di bank tentu tidak menggerakkan ekonomi secara langsung. Padahal, Indonesia saat ini membutuhkan belanja produktif untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah ketidakpastian global. Krisis pangan, tekanan inflasi, hingga melemahnya permintaan ekspor menuntut adanya instrumen fiskal yang agresif.

Dana “tidur” di pemda seharusnya menjadi amunisi. Jika dialihkan ke pusat, ia bisa dipakai untuk mempercepat proyek strategis, membiayai program makan bergizi gratis, memperkuat subsidi energi, atau mendanai jaring pengaman sosial. Dengan multiplier effect belanja pemerintah, pertumbuhan ekonomi nasional bisa terdorong lebih cepat. Dalam bahasa sederhana, uang harus bekerja, bukan mengendap.

Baca Juga  Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa Ditantang Ekstensifkan Pajak Industri Ekstraktif

Namun, di balik logika fiskal yang solid, terdapat problem struktural yang tidak bisa disapu bersih hanya dengan ancaman pengambilalihan. Lambatnya realisasi APBD bukan semata karena pemda malas. Ada faktor regulasi yang rumit, proses pengadaan yang berbelit, serta budaya birokrasi yang masih jauh dari efektif.

Serapan anggaran yang rendah di awal tahun seringkali terkait dengan keterlambatan penetapan APBD, revisi kebijakan pusat, hingga kendala teknis dalam perencanaan. Akibatnya, pemda cenderung menumpuk belanja di akhir tahun. Pola ini berulang dari tahun ke tahun, menciptakan “ritual” serapan anggaran di Desember yang justru rawan inefisiensi.

Mengambil alih dana mungkin bisa memberi efek kejut, tetapi tidak menjamin masalah perencanaan dan tata kelola anggaran terselesaikan. Sebab akar persoalan ada pada kapasitas manajerial dan disiplin birokrasi daerah.

Kebijakan Purbaya juga berisiko menciptakan ketegangan baru antara pusat dan daerah. Otonomi daerah adalah amanat reformasi, memberi kewenangan bagi pemda untuk mengatur dan mengelola anggarannya sesuai kebutuhan lokal. Jika pusat terlalu jauh masuk, wajar jika muncul kecurigaan bahwa otonomi sedang direduksi secara halus.

Seorang kepala daerah di Jawa Tengah, misalnya, menanggapi keras. “Kami bukan tidak mau membelanjakan, tapi sistem pengadaan dan aturan sering berubah. Kalau pusat mengambil alih, sama saja daerah dianggap tidak mampu. Itu bisa meruntuhkan semangat otonomi,” ujarnya.

Pertanyaan kritis pun muncul: apakah pemerintah pusat benar-benar akan mengalokasikan dana itu kembali sesuai kebutuhan daerah? Bagaimana mekanisme akuntabilitasnya? Dan apa jaminannya bahwa pemda tidak akan semakin kehilangan motivasi untuk memperbaiki kinerjanya?

Baca Juga  Ekspresi Kebangsaan Harus Berdasar Fakta Sejarah, Bukan Fiksi

Daripada langsung mengambil alih, strategi yang lebih konstruktif mungkin adalah skema insentif dan sanksi. Pemda yang cepat menyerap anggaran bisa diberi bonus berupa tambahan dana transfer atau prioritas program pembangunan. Sebaliknya, daerah yang berulang kali gagal bisa dikenai penalti, misalnya pengurangan alokasi atau intervensi teknis yang jelas terukur.

Selain itu, pemerintah pusat juga perlu membantu memperkuat kapasitas teknis pemda. Misalnya dengan penyederhanaan regulasi pengadaan barang dan jasa, pelatihan perencanaan proyek, atau digitalisasi sistem keuangan daerah. Tanpa itu, pengambilalihan dana hanya akan jadi tambal sulam, bukan solusi permanen.

Publik kini menunggu apakah ancaman Purbaya ini sekadar shock therapy atau benar-benar akan dijalankan. Jika hanya retorika, maka ia bisa efektif menggugah kesadaran daerah untuk lebih disiplin. Tetapi jika dieksekusi secara sepihak, konsekuensinya bisa besar, baik secara politik maupun ekonomi.

Yang jelas, uang ratusan triliun itu tidak boleh terus menganggur. Ia harus hadir dalam bentuk jalan, sekolah, rumah sakit, dan lapangan kerja nyata. Rakyat tidak peduli uang itu dikelola pusat atau daerah, yang penting manfaatnya terasa.

Purbaya telah membuka kotak pandora. Sekarang tinggal apakah pemerintah pusat mampu membuktikan bahwa ancaman itu bukan sekadar wacana, melainkan langkah berani yang benar-benar mendobrak pola lama. Jika berhasil, ia bisa dicatat sebagai reformasi fiskal yang signifikan. Jika gagal, ia hanya akan menjadi contoh lain dari kebijakan yang lebih banyak menimbulkan gesekan daripada hasil.

Baca Juga  Tragedi Kemanusiaan di Gaza: Amerika dan Keanehan Itu

Pada akhirnya, perdebatan ini menegaskan satu hal: pengelolaan uang negara bukan sekadar soal akuntansi, tetapi juga soal keberanian politik, komunikasi, dan kepercayaan. Purbaya boleh saja berambisi menggerakkan uang “nganggur” itu. Namun tanpa menyelesaikan akar persoalan dan tanpa membangun sinergi dengan daerah, kebijakan ini berisiko menjadi pisau bermata dua.

Indonesia tidak kekurangan uang, yang kurang adalah kecepatan dan keberanian untuk membelanjakannya secara tepat. Pertanyaannya, apakah strategi “ambil alih” ini akan menjadi katalis perubahan atau justru bara baru dalam hubungan pusat dan daerah?

 

*) Penulis:  Nurkhan
Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo Panceng Gresik Jawa Timur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *