MAKLUMAT — Ketua PP Muhammadiyah, M. Busyro Muqoddas mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Menurut Busyro, keputusan MK itu menunjukkan independensi hakim dan kepedulian terhadap hak rakyat.
Sebelumnya, MK dalam Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 telah mengabulkan seluruh permohonan uji materi UU Tapera. Dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dilakukan penataan ulang sesuai Pasal 124 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
“Itu satu putusan MK yang menggambarkan bahwa hakim MK semakin ke sini semakin menunjukkan originalitasnya sebagai negarawan dan sebagai pengemban amanat di lembaga negara yang independen untuk menguji konstitusionalitas undang-undang,” kata Busyro kepada Maklumat.ID lewat sambungan telepon pada Rabu (1/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa hal ini menjadi bukti bahwa MK masih berfungsi sebagai pengawas yang independen. Ia mengapresiasi langkah MK karena memiliki ruh moralitas demokrasi, yang sekaligus melindungi kepentingan rakyat dari regulasi yang cacat prosedur.
Menurut Busyro, putusan MK terkait UU Tapera juga menjadi bukti nyata bahwa proses legislasi tidak selalu mengikuti standar ilmiah dan adab yang semestinya. Padahal proses pembuatan undang-undang sangat penting, sebab berkaitan dengan hak rakyat dan prinsip demokrasi. Setiap regulasi yang lahir dari prosedur buruk akan merugikan masyarakat.
Busyro juga menjelaskan bahwa sejak awal UU Tapera sudah tidak melalui prosedur yang semestinya. Naskah akademiknya, kata dia, sejak awal tidak pernah diberikan kepada elemen masyarakat sipil yang berkapasitas seperti perguruan tinggi, NGO, hingga elemen masyarakat sipil lainnya.
Hal ini membuat kualitasnya diragukan dan hari ini terbukti tidak pro-rakyat. Ia menilai ini merupakan kegagalan besar dari pemerintah dan DPR saat itu dalam memperhatikan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam legislasi.
“Karena apa? Naskah akademiknya sejak awal tidak diberikan kepada elemen masyarakat sipil yang memiliki kapasitas, misalnya perguruan tinggi, NGO, dan sebagainya. Saya meragukan sekali naskah akademiknya, kualitasnya nol,” ujarnya.
Busyro menambahkan bahwa naskah akademik harus mengandung aspek keilmuan dan kepedulian terhadap rakyat. Fakta putusan MK mengenai UU Tapera menjadi bukti nyata bahwa prosedur pembuatannya pun tidak memenuhi standar tersebut.
Ia juga menilai proses perumusan UU Tapera sebagai pengkhianatan terang-terangan terhadap hak rakyat yang dilakukan pada era pemerintahan saat itu. Hal ini menjadi pelajaran penting agar pemerintah saat ini lebih berhati-hati dan melibatkan masyarakat sipil dalam setiap proses legislasi. “Ini juga alarm bagi DPR. Bukan tidak becus saja, tapi brutal, sama saja membunuh wibawa DPR sebagai lembaga demokrasi,” imbuhnya.
Busyro juga berpesan agar DPR lebih serius dalam menjalankan fungsi legislasi, terutama ketika membahas undang-undang yang memiliki dampak besar bagi kehidupan rakyat. Ia mencontohkan UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada yang belakangan ini sedang dikaji ulang.
Menurutnya, dominasi kepentingan politik dinasti maupun kepentingan bohir politik dapat merusak wibawa lembaga demokrasi apabila tidak dikawal dengan baik. Praktik semacam itu pada akhirnya hanya akan melahirkan regulasi yang berpihak pada segelintir elit dan mengabaikan aspirasi rakyat.
Dalam putusannya, MK juga memberi tenggang waktu maksimal dua tahun bagi pembentuk undang-undang untuk menata ulang aturan sesuai amanat UU 1/2011. Penataan ini terutama menyangkut pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan agar bersifat pilihan bagi pemberi kerja maupun pekerja, sekaligus selaras dengan prinsip keadilan sosial serta hak konstitusional warga negara.
Busyro mendorong pembuat undang-undang agar melibatkan masyarakat sipil yang punya rekam jejak independen dan berkapasitas. Ia juga menegaskan bahwa sebagai elemen masyarakat sipil, Muhammadiyah siap mengawal proses tersebut.
Namun, komitmen tersebut hanya dapat berjalan apabila pemerintah dan DPR menunjukkan itikad yang jujur dan terbuka. “Kami selalu siap dan bekerja keras untuk bangsa, tapi semua itu tidak ada artinya jika pemerintah dan DPR tidak jujur dan tidak menghormati kedaulatan rakyat,” tandasnya.***