MAKLUMAT — Bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober. Tanggal ini bukan sekadar seremonial, tetapi momentum untuk kembali bertanya kepada diri sendiri. Masihkah Pancasila benar-benar menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara?
Atau, Ia kini sekadar simbol yang kerap digemakan tanpa sungguh-sungguh diamalkan? Pertanyaan ini terasa semakin relevan ketika bangsa kita berada di ujung jalan persimpangan, menghadapi tantangan besar yang menguji arah kebangsaan.

Pancasila lahir dari pergulatan panjang para pendiri bangsa. Ia menjadi fondasi yang mempersatukan keragaman, dari Sabang sampai Merauke. Nilai-nilainya jelas: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan. Namun, tantangan terbesar kita hari ini bukan lagi sekadar memahami kelima sila itu, melainkan bagaimana menghidupkannya di tengah arus deras globalisasi, polarisasi politik, dan krisis moral. Bangsa ini seakan berdiri di persimpangan jalan: apakah kita benar-benar menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup, atau hanya sebagai hiasan pidato kenegaraan?
Sejarah membuktikan, ancaman terhadap Pancasila tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Ideologi transnasional, politik identitas, hingga maraknya korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Korupsi, misalnya, jelas menabrak sila kelima tentang keadilan sosial. Polarisasi politik yang meruncing menjelang pemilu juga merusak sila ketiga, persatuan Indonesia.
Lebih parah lagi, ketika Pancasila hanya dijadikan jargon tanpa makna. Banyak pejabat fasih menyebutnya, tetapi perilaku sehari-hari justru bertolak belakang. Masyarakat pun bingung: apakah Pancasila hanya retorika indah yang dipelihara di atas kertas, ataukah masih ada orang-orang yang benar-benar menghidupinya?
Meski begitu, selalu ada harapan. Generasi muda Indonesia, dengan segala dinamika digitalnya, memiliki potensi besar untuk menghidupkan kembali Pancasila dalam bentuk yang lebih segar. Mereka bisa menjadikan Pancasila bukan hanya materi pelajaran hafalan, melainkan panduan nyata dalam bersikap: bagaimana menghargai perbedaan, menolak hoaks, hingga menumbuhkan solidaritas sosial.
Tantangan kita adalah bagaimana menanamkan Pancasila dengan cara yang relevan. Tidak cukup hanya dengan upacara, hafalan, atau poster di dinding sekolah. Pancasila harus hidup dalam praktik sehari-hari: dalam kejujuran di kelas, dalam kerja sama antar siswa, dalam keberanian menolak diskriminasi, dan dalam kepedulian terhadap sesama.
Persimpangan bangsa ini terlihat jelas: di satu sisi ada jalan yang menawarkan pragmatisme politik, ekonomi liberal yang hanya menguntungkan segelintir orang, dan budaya konsumtif yang mengikis solidaritas. Di sisi lain ada jalan yang berusaha teguh memegang nilai Pancasila: mengutamakan persatuan di atas kepentingan kelompok, memperjuangkan keadilan, dan menghidupkan semangat gotong royong.
Pertanyaannya: jalan mana yang akan kita pilih? Apakah kita akan membiarkan Pancasila sekadar jadi slogan, atau berani menjadikannya kompas moral?
Kita perlu membumikan Pancasila. Artinya, nilai-nilai itu harus terasa nyata dalam kebijakan negara maupun kehidupan sehari-hari. Pemerintah seharusnya menegakkan hukum tanpa pandang bulu sebagai wujud keadilan sosial. Pendidikan harus menekankan nilai kemanusiaan dan persatuan, bukan hanya kejar ranking. Media sosial harus digunakan untuk menyebar kebaikan, bukan ujaran kebencian.
Membumikan Pancasila berarti menjadikannya nafas hidup bersama. Ia bukan hanya milik negara, tetapi juga milik rakyat. Pancasila seharusnya hadir dalam musyawarah desa, dalam solidaritas membantu tetangga, bahkan dalam etika kita bermedia sosial.
Hari Kesaktian Pancasila seharusnya tidak hanya mengingatkan kita pada sejarah kelam pengkhianatan terhadap bangsa, tetapi juga pada kekuatan besar yang kita miliki: semangat untuk bangkit. Kesaktian Pancasila bukan terletak pada simbolnya, melainkan pada keberanian kita menjalankan nilai-nilainya di tengah godaan zaman.
Jika generasi muda mau belajar jujur, adil, dan peduli, di situlah kesaktian Pancasila hidup. Jika para pemimpin rela mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, di situlah Pancasila benar-benar sakti.
Bangsa Indonesia memang tengah berada di ujung jalan persimpangan. Namun, Pancasila tetap menjadi penunjuk arah yang tak tergantikan. Ia mengingatkan kita bahwa persatuan lebih utama daripada perpecahan, keadilan lebih penting daripada keserakahan, dan kemanusiaan lebih mulia daripada kekuasaan.
Maka, mari kita tidak hanya memperingati Hari Kesaktian Pancasila dengan upacara, tetapi juga dengan tindakan nyata. Sebab di persimpangan inilah, pilihan kita akan menentukan: apakah Pancasila tetap menjadi dasar yang hidup, atau hanya tinggal kenangan di buku sejarah.***
Comments