MAKLUMAT — Pakar Perbankan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Ayif Fathurrahman MSi, menyoroti kasus pembobolan rekening rasabah hingga senilai Rp204 miliar di BNI.
Hal itu, kata dia, menjadi tamparan keras bagi dunia perbankan Indonesia. Menurutnya, peristiwa tersebut menunjukkan adanya kerentanan dan celah serius terhadap sistem keamanan bank, yang dapat dimanfaatkan para pelaku kejahatan.
Ayif menilai, kasus pembobolan rekening nasabah tersebut bukan sekadar kegagalan teknologi, melainkan kombinasi masalah tata kelola, integritas, serta pengawasan.
“Fraud perbankan biasanya merupakan kegagalan multi-lapis. Ada celah dalam sistem pengendalian internal, lemahnya integritas sumber daya manusia, hingga kurang optimalnya pengawasan regulator. Jadi ini bukan hanya masalah IT, tetapi juga masalah tata kelola dan budaya kerja,” ujarnya, dilansir laman resmi UMY, Sabtu (4/10/2025).
Empat Pilar Utama
Menurut Ayif, inovasi teknologi memang harus menjadi prioritas bank BUMN agar kasus serupa tidak terulang. Ia menyebut, setidaknya terdapat empat pilar utama yang bisa diperkuat.
Pertama, penerapan sistem deteksi fraud berbasis kecerdasan buatan untuk menganalisis pola transaksi mencurigakan secara real-time, termasuk pada rekening dormant yang rawan disalahgunakan.
Kedua, memperluas penggunaan multi-factor authentication seperti biometrik, OTP, dan token digital agar transaksi bernilai besar lebih aman.
Ketiga, mempertimbangkan penggunaan blockchain-based ledger untuk memastikan transparansi transaksi. Terakhir, keempat adalah membangun pusat pemantauan keamanan siber 24 jam dengan sistem peringatan dini.
“Teknologi saja tidak cukup. Inovasi harus ditopang oleh tata kelola yang kuat, audit independen, dan budaya integritas. Kalau tidak, teknologi secanggih apa pun tetap bisa ditembus melalui kolusi atau manipulasi prosedural,” tandas dosen Prodi Ekonomi UMY itu.
Lemahnya Pengawasan
Lebih lanjut, Ayif juga menyoroti lemahnya pengawasan rekening dormant atau tidak aktif. Meski sistem sudah memiliki mekanisme pembatasan, verifikasi identitas dan monitoring transaksi masih longgar sehingga kerap dimanfaatkan oknum internal maupun eksternal.
Ia menilai dampak kasus ini lebih besar pada reputasi dibanding stabilitas sistemik. Bank BUMN memiliki permodalan dan aset besar sehingga tidak langsung mengancam industri, namun risiko psikologis bisa lebih berbahaya.
“Kalau masyarakat merasa bank BUMN saja tidak aman, bisa muncul trust deficit. Ini harus segera diantisipasi,” jelas Ayif.
Menurutnya, transparansi menjadi kunci utama untuk mengembalikan kepercayaan publik. Bank harus berani membuka modus kasus, pihak terlibat, serta langkah korektif yang ditempuh.
Selain itu, kompensasi bagi nasabah terdampak harus segera diberikan tanpa proses berbelit. “Kecepatan bank dalam menunaikan tanggung jawabnya akan menjadi indikator serius atau tidaknya mereka menjaga amanah dana masyarakat,” pungkas Ayif.