Surga Sayur di Kaki Lawu: Plaosan, Pasar yang Tak Pernah Tidur

Surga Sayur di Kaki Lawu: Plaosan, Pasar yang Tak Pernah Tidur

MAKLUMAT — Udara dingin lereng Gunung Lawu menyapa lembut pagi itu. Kabut tipis menggantung di atas atap seng yang berjejer di Pasar Plaosan. Aroma tanah basah bercampur wangi sayur-mayur segar menyeruak ke udara.

Di sela riuh tawar-menawar, tumpukan kangkung, sawi, bayam, wortel, kubis, dan kentang menanti tangan-tangan pembeli. Di sinilah denyut ekonomi rakyat Magetan berdegup tanpa henti — pasar yang tak pernah benar-benar tidur.

Pasar Plaosan, yang berdiri di tepi jalan utama Magetan–Sarangan, bukan sekadar tempat jual beli sayuran. Ia adalah simpul agrobisnis yang menyatukan petani lereng Lawu dengan pedagang dari berbagai penjuru Madiun Raya — Ponorogo, Ngawi, Pacitan, hingga Madiun. Di pasar ini, harga berbicara dengan jujur: murah, segar, dan penuh kehidupan.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, merasakan sendiri suasana itu dalam kunjungan kerjanya, Ahad (5/10/2025). Ia datang tanpa jarak — berjalan di antara para pedagang, menawar dengan senyum, dan memborong sayur seperti warga kebanyakan. “Pasar dekat Sarangan ini surganya sayur. Ragamnya banyak sekali, pedagang dari Ngawi dan Madiun pun belanja di sini,” ujarnya sembari menenteng kantong plastik berisi hasil bumi.

Tangannya bergerak cepat, memilih bayam, wortel, tomat, hingga kentang. “Ini harganya berapa, Bu?” tanyanya ramah kepada seorang pedagang perempuan paruh baya. Suasana berubah hangat. Senyum para pedagang merekah — bukan karena gubernurnya berbelanja, tetapi karena mereka merasa dihargai. “Harga di Pasar Plaosan ini murah sekali, tapi kualitasnya bagus. Ini bukti kuatnya agrobisnis lokal,” ujar Khofifah.

Baca Juga  Yuk Intip Thorium, Energi Nuklir Masa Depan Indonesia yang Pernah Diteliti ESDM

Pasar Plaosan memang tak pernah sepi. Sejak dini hari, truk-truk dari berbagai desa di lereng Lawu berdatangan membawa hasil panen. Ketika matahari baru muncul, sayuran sudah berpindah tangan — dari petani ke pedagang, dari pedagang ke pembeli. Perputaran ekonomi berlangsung cepat, alami, dan saling menghidupi.

Namun bagi Khofifah, pasar bukan sekadar tempat transaksi. Ia melihatnya sebagai ruang sosial, tempat perempuan-perempuan tangguh menjaga kehidupan keluarga. “Perempuan-perempuan di sini luar biasa. Mereka bekerja keras, tetap tersenyum, dan menjadi penggerak ekonomi rakyat,” tuturnya.

Dalam kunjungan itu, Khofifah juga menyalurkan paket sembako bagi para pedagang dan kuli panggul. “Alhamdulillah, kami bisa berbagi untuk mereka agar tetap semangat mencari nafkah,” katanya. Bagi sang gubernur, membeli langsung dari pedagang adalah bentuk kepedulian sosial — sebuah cara sederhana tapi nyata untuk menghidupkan ekonomi bawah.

Pasar Murah ke-118

Tak hanya menyapa pasar, Khofifah juga membuka Pasar Murah ke-118 di Rumah Promosi Produk IKM Magetan. Di sana, harga bahan pokok jauh di bawah pasar. Beras premium dijual Rp14.000 per kilogram, gula pasir Rp14.000, minyak goreng Rp13.000, dan telur ayam Rp22.000 per pack. “Pasar murah bukan sekadar menjual sembako, tapi upaya menjaga daya beli dan keadilan ekonomi,” ujarnya.

Baginya, keadilan ekonomi bukan jargon. Ia harus hadir di lapangan — di pasar-pasar, di warung kecil, di pelataran tempat rakyat hidup. “Pemerintah hadir bukan hanya sebagai pengatur, tapi sebagai penjalin sinergi antara produsen, pelaku usaha, dan konsumen agar semua terlindungi,” tutur Khofifah.

Baca Juga  Sound Horeg Jatim Kena Aturan Ketat: Maksimal 120 dBA, Wajib Diam Lewat Rumah Sakit

Pasar murah itu juga menampilkan produk UMKM Magetan: sandal kulit, olahan pangan, hingga kuliner khas. “Kita ingin produk lokal menembus pasar yang lebih luas. Pasar murah bukan hanya soal harga, tapi tentang membuka jejaring usaha,” katanya. Ia berjanji, produk-produk unggulan ini akan dikurasi untuk dibawa dalam misi dagang antarprovinsi.

Sementara itu, di luar keramaian, Pasar Plaosan kembali berdenyut seperti biasa. Pedagang menata ulang lapaknya, petani menyiapkan panen berikutnya. Lawu yang berdiri kokoh di kejauhan seolah menjadi saksi bahwa ekonomi rakyat di kaki gunung ini tumbuh dari tangan-tangan sederhana — yang bekerja tanpa banyak bicara, tapi tak pernah berhenti memberi kehidupan.

Pasar Plaosan adalah potret ketahanan ekonomi yang sesungguhnya: berakar di tanah sendiri, dikelola oleh rakyat sendiri, dan dijaga dengan gotong royong. Di sinilah, di surga sayur di kaki Lawu, ekonomi tak hanya dihitung dari angka, tapi dari senyum para pedagang yang tak pernah lelah menyapa pagi.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *