Ransiki, Kampung Cokelat yang Berinovasi: Petani Papua Barat Belajar dari Rumah Inovasi Desa

Ransiki, Kampung Cokelat yang Berinovasi: Petani Papua Barat Belajar dari Rumah Inovasi Desa

MAKLUMAT — Udara pagi di Ransiki, Manokwari Selatan, terasa lembap bercampur aroma tanah basah. Di antara deretan pohon kakao yang rimbun, beberapa petani tampak menimbang biji hasil panen di atas terpal biru. Di tangan mereka, cokelat bukan lagi sekadar hasil bumi—melainkan sumber harapan.

Kini, para petani di Ransiki sedang belajar berinovasi lewat Rumah Inovasi dan Teknologi Desa (RITD), sebuah program dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) bersama International Fund for Agricultural Development (IFAD). Di sinilah mereka berlatih membuat pupuk organik, mempelajari teknik fermentasi biji, hingga berdiskusi soal strategi pemasaran.

“Petani kakao di Ransiki punya potensi besar. Produksi rata-rata sudah mencapai empat ton per bulan. Tapi lewat Rumah Inovasi Desa, mereka bisa melompat lebih jauh—bukan cuma menanam, tapi juga berinovasi,” ujar Prof. Zainuddin Maliki, Sekretaris Eksekutif Strategic Policy Unit (SPU) Program TEKAD Kemendes PDT, saat kunjungan ke enam kampung di Ransiki, awal Oktober 2025 lalu.

Selama tiga hari, Zainuddin dan tim menelusuri enam kampung: Sabiri, Kobrey, Abreso, Hamawi, Nuhuwei, dan Hamor. Mereka tidak datang dengan teori, tetapi dengan semangat mendengar. Di setiap kampung, tim berdialog dengan petani, perangkat desa, hingga kepala kampung—mencari tahu apa yang mereka butuhkan untuk maju.

Di Kampung Kobrey, Melinius Induwek menyambut rombongan dengan kebanggaan khas petani Papua. Ia menatap kebun tuanya yang mulai meranggas. “Kami butuh peremajaan tanaman tua. Bibit baru dan teknologi budidaya sangat penting. Kami ingin hasil kakao kami bernilai tinggi,” katanya.

Baca Juga  Blora Menuju Pusat Sorgum Nasional, Mendes Optimis Indonesia Bisa Jadi Lumbung Pangan Dunia

Permintaan itu tak bertepuk sebelah tangan. Melalui RITD, Kemendes PDT menyiapkan pelatihan teknologi tepat guna dan peningkatan mutu biji kakao. Dari pembibitan, perawatan, hingga pascapanen, semua diarahkan agar petani mampu menghasilkan kakao fermentasi dengan kualitas premium.

“Kalau biji kakao difermentasi dengan baik, harganya bisa mencapai Rp190.000 per kilogram. Itu jauh di atas harga nonfermentasi,” jelas Zainuddin.

Ransiki memang lama dikenal sebagai salah satu sentra kakao unggulan di Tanah Papua. Data pemerintah mencatat, luas kebun kakao di kecamatan itu hampir 2.000 hektare, meski baru sekitar 200 hektare yang berproduksi secara konsisten. Namun dengan kehadiran Rumah Inovasi Desa, angka itu diyakini bakal terus naik.

Rumah Inovasi ini tidak sekadar bangunan. Ia menjadi wadah belajar bersama antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan sektor swasta. Di sana, petani bisa melihat langsung cara kerja alat fermentasi, cara membuat pupuk padat, atau sekadar berdiskusi soal harga pasar.

“Dulu kami jual biji kering saja. Sekarang kami tahu kenapa mutu penting, kenapa fermentasi bisa ubah harga,” kata seorang petani muda di Kampung Hamawi sambil menata biji cokelat di rak pengering.

Kemendes berharap, keberhasilan Ransiki bisa menjadi contoh bagi daerah lain. “Kami ingin setiap desa memiliki pusat inovasi. Kalau petani berdaya, desa juga berdaya,” ujar Zainuddin.

Di akhir kunjungan, matahari Ransiki mulai turun. Di kebun-kebun kecil yang mulai hijau kembali, para petani menatap biji cokelat di tangan mereka dengan harapan baru. Bagi mereka, inovasi bukan lagi kata besar dari kota, tapi jalan menuju masa depan yang manis—semanis aroma kakao yang kini memenuhi desa-desa di kaki Arfak itu.***

Baca Juga  Hujan Lebat Sebabkan Banjir di Surabaya, Satu Balita Dilaporkan Tenggelam
*) Penulis: Aan Hariyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *