MAKLUMAT – Di sebuah lahan kering di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, sekelompok petani tengah memandangi hamparan sawah yang baru digarap. Lahan itu tak lagi sekadar tempat menanam, tapi kini menjadi lokasi percontohan, demplot, dari hasil kolaborasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan pemerintah setempat.
Program itu bernama Profesor Penggerak Pembangunan Masyarakat (P3M), sebuah inisiatif yang menggabungkan ilmu akademik dengan kerja nyata di lapangan. Melalui program ini, UMM mengirimkan para profesor dan tenaga ahli untuk mendampingi masyarakat di dua kabupaten sekalius, Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU).
Selama hampir sepekan, sejak 30 September hingga 4 Oktober 2025, tim P3M UMM melakukan serangkaian kegiatan di tiga sektor utama. Ketiganya meliputi pertanian, peternakan, dan perikanan, yang menjadi tulang punggung ekonomi warga setempat.
Dari Peternakan Sapi Bali ke Pusat Pembibitan
Prof. Dr. Ir. Indah Prihartini, MP., IPU., Koordinator P3M Bidang Pertanian, Peternakan, dan Perikanan, program awalnya hanya berfokus pada pertanian dan peternakan. Namun, setelah berdialog dengan pemerintah daerah, sektor perikanan masuk program karena banyak persoalan mendesak yang perlu adanya penanganan.
Salah satu perhatian utama UMM ada pada peternakan sapi potong, khususnya jenis sapi bali yang banyak dipelihara warga. “Produktivitas sapi di sini masih rendah, dengan ketersediaan pakan terbatas dan kesehatan hewan yang belum tertangani optimal,” jelas Indah.
UMM kemudian mengirim tenaga ahli di bidang pakan dan kesehatan hewan untuk memberikan pendampingan langsung. Selain itu, tim juga memperkenalkan manajemen pembibitan yang lebih modern.
“Saat ini proses reproduksi masih berjalan secara kawin alam. Kami ingin menyeleksi bibit sapi potong yang produktivitasnya tinggi, agar ke depan terbentuk pusat pembibitan sapi potong yang lebih unggul,” tambahnya.
Potensi Besar, Tantangan Serius
Sektor pertanian juga menjadi fokus penting. Sejauh ini, daerah NTT memiliki potensi besar tanaman jagung, padi, dan hortikultura. Namun, di balik potensi itu tersimpan tantangan klasik, kualitas tanah yang menurun dan sistem budi daya yang belum efisien.
Indah menuturkan, salah satu contoh di Bonleu, daerah dengan sumber air berlimpah tapi masyarakat hanya menanam padi sekali setahun.
“Masalahnya bukan pada air, tapi tanah yang kehilangan bahan organik karena debit air tinggi. Kami membuat demplot untuk menguji apakah memungkinkan tanam padi minimal dua kali setahun,” katanya.
Langkah ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas lahan. UMM juga mulai memperkenalkan pertanian organik sebagai bagian dari strategi keberlanjutan.
Selain itu, UMM bekerja sama dengan Dinas Pertanian setempat mengembangkan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Satu lagi memperkenalkan inovasi teknologi pertanian hasil riset kampus.
Produktivitas padi di wilayah ini yang masih sekitar 4–5 ton per hektare diharapkan bisa meningkat lewat transfer teknologi tersebut.
Menggerakkan Ekonomi, Menekan Stunting
Namun, misi UMM lewat program P3M tidak berhenti pada urusan teknis pertanian dan peternakan. Tujuan akhirnya lebih luas, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan angka stunting di NTT.
“Jika produksi padi, jagung, dan hortikultura meningkat, maka pendapatan petani turut naik. Daya beli mereka membaik, dan akses terhadap pangan bergizi meningkat. Itu berarti peluang menekan stunting semakin besar,” tutur Indah.
Logika serupa berlaku pada peternakan: semakin produktif ternak, semakin tinggi pula pendapatan dan ketersediaan sumber protein hewani.
UMM berharap, Program P3M menjadi model kolaborasi antara universitas, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sebuah pendekatan pembangunan berbasis ilmu pengetahuan yang tidak hanya mentransfer teori, tetapi juga menyentuh realitas sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan.
Kolaborasi dan Harapan dari Daerah
Pemerintah daerah menyambut baik inisiatif tersebut. Sekretaris Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten TTS, Yehuda Tunliu, menyampaikan apresiasinya atas keterlibatan UMM dalam pengembangan sektor pertanian.
“Persoalan kemiskinan dan tingginya angka stunting menjadi pergumulan kami. Kehadiran UMM melalui program Profesor ini sangat berdampak. Kami mendukung penuh dan berharap program ini membawa perubahan perilaku petani dan petugas teknis pertanian di lapangan,” ujarnya.
Program P3M menunjukkan bagaimana UMM menempatkan ilmu pengetahuan bukan di menara gading, tapi di tengah masyarakat.
Lewat kombinasi riset, inovasi, dan pendampingan langsung, universitas ini berupaya menjawab tantangan nyata: dari persoalan kesuburan tanah hingga gizi anak-anak.