Saat Dunia Tergila-gila AI, Ilmuwan Indonesia Buktikan Kunci Sukses Pemimpin Justru pada ‘Spiritualitas’

Saat Dunia Tergila-gila AI, Ilmuwan Indonesia Buktikan Kunci Sukses Pemimpin Justru pada ‘Spiritualitas’

MAKLUMAT — Dunia kini terobsesi pada teknologi. Kecerdasan buatan (AI) dan big data menjadi kiblat baru bisnis global. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, seorang ilmuwan Indonesia dari Yogyakarta justru menyalakan api yang berbeda.

Dr. Udin, M.M., dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menegaskan bahwa kunci kepemimpinan sejati tidak lahir dari algoritma, melainkan dari jiwa.

Riset yang ia tekuni mengantarkannya masuk daftar World’s Top 2% Scientist versi Elsevier dan Stanford University. Penghargaan ini menempatkan Udin sejajar dengan ilmuwan paling berpengaruh di dunia.

Menantang Dunia yang Terlalu Mekanis

Stanford University menyeleksi daftar itu dengan ketat. Mereka menilai jumlah publikasi, tingkat sitasi yang melampaui 900, hingga kolaborasi riset lintas negara. Dari ribuan peneliti, nama Udin muncul karena risetnya menyoroti kepemimpinan berbasis spiritualitas dan moralitas—tema yang jarang disentuh di tengah tren manajemen yang serba mesin.

“Pemimpin sejati tidak hanya mengejar hasil jangka pendek. Ia harus mampu menyentuh sisi kemanusiaan dan menumbuhkan makna di balik setiap keputusan,” kata Udin seperti dilansir laman UMY, Rabu (8/10/2025).

Udin menantang paradigma manajemen modern yang memuja efisiensi dan otomasi. Ia menegaskan bahwa manusia tetap menjadi inti dari setiap organisasi.

“Mesin bisa menggantikan pekerjaan, tetapi tidak bisa menggantikan empati. Pemimpin harus mengelola sisi kemanusiaan dengan integritas moral,” ujarnya tegas.

Baca Juga  Kukuhkan 3 Guru Besar, UMJ Salah Satu Kampus Swasta Teladan

Menulis Sebagai Laku Akademik

Udin menjalani aktivitas akademik dengan disiplin tinggi. Ia menulis setiap hari, membaca setiap pagi, dan meneliti setiap kesempatan yang ada. Ia menganggap menulis sebagai bagian dari kesadaran, bukan sekadar kewajiban.

“Menulis itu seperti bernafas. Kalau sehari tidak menulis atau membaca, rasanya seperti kehilangan sesuatu,” tuturnya sambil tersenyum.

Ia mengatur waktu dengan ketat. Setelah mengajar, ia meninjau data riset, menulis laporan, atau mengedit artikel ilmiah. Ia percaya produktivitas akademik harus berjalan beriringan dengan kualitas.

“Banyak menulis bukan berarti asal-asalan. Kita harus menjaga mutu agar karya kita dihargai,” tambahnya.

Membangun Ekosistem Riset

Udin tidak ingin berjuang sendirian. Ia mengajak mahasiswa bergabung dalam proyek riset payung yang ia pimpin. Ia mengarahkan mereka untuk menggali ide, menyusun metodologi, dan menulis artikel untuk jurnal internasional.

“Dosen tidak cukup hanya mengajar. Kita harus meneliti dan mempublikasikan karya agar kampus kita diakui dunia,” ujarnya.

Ia memotivasi mahasiswanya untuk menulis sejak dini. Ia percaya, riset yang kuat lahir dari kebiasaan berpikir kritis dan budaya akademik yang hidup.

“Kita tidak bisa membangun reputasi kampus tanpa budaya riset. Mahasiswa harus tumbuh dalam lingkungan yang mencintai ilmu,” katanya.

Menawarkan Jalan Tengah

Gagasan Udin hadir seperti penyeimbang di tengah dunia yang semakin dingin. Ketika banyak perusahaan berlomba mengukur segalanya dengan data, ia mengingatkan pentingnya empati dan kesadaran moral.

Baca Juga  Patologi Peradaban

“Teknologi itu alat. Pemimpinlah yang menentukan arah. Tanpa nilai kemanusiaan, organisasi hanya akan kehilangan ruhnya,” tegasnya.

Udin menegaskan bahwa masa depan bukan milik mesin, melainkan milik manusia yang berjiwa. Ia terus menulis, meneliti, dan membimbing generasi baru agar tidak kehilangan arah di tengah badai digital.

“Riset tentang spiritual leadership ini membuktikan bahwa manusia tetap menjadi pusat. AI tidak bisa menggantikan nurani,” ujarnya menutup perbincangan.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *