Mengetuk Pintu Langit untuk Selamatkan Bumi

Mengetuk Pintu Langit untuk Selamatkan Bumi

MAKLUMAT – Udara di ruangan itu terasa hangat, bukan hanya karena cuaca khatulistiwa. Tapi karena semangat yang membara dari sanubari puluhan anak muda. Mereka datang dari latar belakang berbeda. Peci, salib, dan simbol-simbol keyakinan lain duduk berdampingan, lebur dalam satu keresahan yang sama: bumi yang kian merintih.

Di sudut depan, suara Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, menggema pelan namun menusuk. ”Bumi kita tidak sekadar panas, tapi sudah terluka,” ujarnya. Kalimat itu menjadi pembuka yang sontak membungkam riuh rendah, menyatukan puluhan pasang mata dalam satu frekuensi keprihatinan.

Inilah pemandangan yang tersaji dalam Pelatihan Keadilan Iklim untuk Pemuda Lintas Iman di Pontianak, Jumat (10/10/2025). Sebuah forum yang digagas GreenFaith Indonesia bersama Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kalimantan Barat. Sebanyak 28 pemuda, yang mewakili Islam (NU dan Muhammadiyah), Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, hingga Khonghucu, memilih untuk tidak tinggal diam. Mereka merespons panggilan moral yang melampaui sekat-sekat kitab suci.

Bagi GreenFaith, ini adalah pendaratan pertama mereka di Bumi Borneo Barat, sekaligus menjadi pelatihan ke-12 yang telah mereka gelar di berbagai penjuru nusantara. Sebuah gerakan yang kini menemukan momentumnya di tengah deru krisis yang tak lagi bisa dipandang sebelah mata.

Dari Doa Menuju Aksi Nyata

Hening menegaskan, sudah saatnya umat beragama melakukan transisi moral. Dari sekadar menjadikan agama sebagai topeng spiritualitas, menuju aksi konkret yang membumi. Ia menyebutnya sebagai pergeseran ”dari ego menjadi eco”. Dari keserakahan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, menuju kesadaran ekologis bahwa semua makhluk adalah setara.

Baca Juga  Green Youth Quake: Merawat Iman, Menjaga Bumi, Melawan Krisis Iklim

”Semua agama mengajarkan kita menjaga. Islam punya konsep khalifah fil ardh, Hindu dengan Tri Hita Karana, Katolik lewat ensiklik Laudato Si. Intinya sama, kita ini dititipi, bukan memiliki,” papar Hening dengan berapi-api.

Menurutnya, iman yang hanya berhenti di mimbar dan ruang doa adalah iman yang dangkal. Ibadah sejati, lanjutnya, adalah ketika nilai-nilai luhur itu menjelma menjadi tindakan nyata. “Jangan sampai doa kita untuk keselamatan, tapi tangan kita ikut merusak. Ini hipokrisi ekologis,” tegasnya.

Suara Lirih dari Tanah Gambut

Persoalan ini terasa lebih menusuk bagi warga Kalimantan Barat. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye GreenFaith Indonesia, membeberkan data yang membuat para peserta terdiam. Hubungan kausalitas antara deforestasi masif, tambang batu bara yang serakah, dan bencana iklim seperti banjir dan cuaca ekstrem di Kalbar sudah sangat jelas.

”Petani kita di desa-desa kesulitan memprediksi cuaca. Hutan yang dulu menjadi benteng alami kini luluh lantak. Ini bukan lagi isu lingkungan, ini isu kemanusiaan, isu keadilan,” ujar Parid.

Mengutip pemikir Seyyed Hossein Nasr, Parid menyebut bahwa krisis ekologis adalah cerminan dari krisis spiritualitas. Ketika manusia modern meninggalkan ”langit” dan nilai-nilai sakral, maka alam pun diperlakukan tak lebih dari sekadar objek eksploitasi.

Laboratorium Gagasan di Rumah Ibadah

Pelatihan ini tak berhenti pada tataran diskusi filosofis. Para peserta langsung diajak masuk ke ”laboratorium gagasan”. Dipandu fasilitator Syahrul Ramadhan, mereka dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk merancang Rencana Aksi Rumah Ibadah Ramah Lingkungan (Eco-House of Worship).

Baca Juga  Anggota DPR Tegaskan Pentingnya Pemberdayaan Peran Perempuan Menuju Indonesia Emas 2045

Gagasan-gagasan segar pun bermunculan. Mulai dari yang paling sederhana seperti manajemen sampah terpadu di masjid dan gereja, gerakan mematikan lampu dan AC saat tidak digunakan, hingga ide yang lebih maju seperti mengadvokasi penggunaan panel surya di rumah ibadah sebagai simbol transisi energi.

”Pertemuan ini tidak boleh berhenti di ruangan ini,” pesan Hening di akhir acara. Ia menantang para pemuda itu untuk menjadi agen perubahan di komunitas masing-masing.

Dari sebuah ruangan di Pontianak, sebuah pesan kuat kini menggema ke seluruh negeri. Bahwa menyelamatkan bumi adalah tugas suci. Sebuah bentuk ibadah tertinggi yang menyatukan seluruh umat manusia, apa pun agamanya. Karena pada akhirnya, semua doa dan harapan akan dipanjatkan di bawah langit yang sama.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *