Pesantren di Tengah Benturan Peradaban: Paradoks Mahkota Surga dan Perbudakan Anak

Pesantren di Tengah Benturan Peradaban: Paradoks Mahkota Surga dan Perbudakan Anak

Oleh: Nurbani Yusuf *)

MAKLUMAT — Ini memang soal cara pandang, cara berpikir atau perspektif. Hegemoni nilai-nilai barat sekular liberal menjadi yang paling benar, maka segala yang dianggap baik dan benar menurut kita belum tentu dipandang benar.

***

Nurbani Yusuf. (Dok.)
Nurbani Yusuf. (Dok.)

Apa soalnya? Kaum agnostik menganggap agama itu ribet, sumber masalah, sumber keributan.

Liberal sekuler menganggap adab adalah feodalisme. Rumah tahfiz dianggap ekploitasi anak. Kerja bakti dianggap perbudakan. Bahkan merawat orang tua tetap tinggal di rumah dianggap durhaka dan amoral.

Sebagian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menyebut orang tua tidak berhak memaksa anak menghafal Al-Quran, sebab anak punya hak asasi yang harus dihormati, hak hidup, hak menentukan nasib sendiri. Mereka bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.

Orang tua tidak boleh memaksakan kehendak atas nama agama, apalagi hanya ingin mendapatkan mahkota di surga dari anaknya, sementara orang tuanya asyik WA-an, anaknya dipaksa melakukan menurut selera orang tua.

Sampai tahap ini, kita faham apa nilai-nilai Barat sekuler itu—setiap kehendak harus di musyawarahkan. Orang tua dan anak duduk setara—berunding menentukan masa depan. Jadi tak boleh ada keterpaksaan, sebab keterpaksaan mengandung eksploitasi, semacam ancaman atau intimidasi orang tua terhadap anak. Dan itu melanggar HAM. Ironisnya mereka diam saat anak-anak dimasukkan barak militer karena alasan mendisiplinkan. Ada standar ganda, ambigu dan subjektif. Tegasnya: Praktik arogansi nilai Barat sekuler atas nilai religius Islam tidak adil.

Baca Juga  Tantangan Teknologi dan Transformasi

Menurut pandangan kaum Liberal Sekuler: Isi kitab Ta’alim Muta’alim jelas melanggar HAM. Sebab santri atau murid dianggap obyek. Guru dan masayikh dianggap lebih tinggi. Tidak boleh dibantah, harus didengar dan ditaati. Santri dalam posisi lemah, tidak punya hak bahkan sekedar bertanya.

***

Tak terbayang jika Komisi Perlindungan Anak atau Komisi Hak Asasi Manusia masuk pesantren, rumah tahfiz, atau ma’had, yang menggunakan sistem pengajaran klasik sebagai model pembelajaran. Kemudian mengubah adab dan nilai-nilai religiusitas pesantren menjadi demokratik, kesetaraan, egalitarianisme, transparansi, dan segala macamnya.

Pesantren harus dilindungi dan mendapatkan otoritas menentukan model dan corak pendidikannya sendiri. Dan masyarakat diberi kebebasan memilih. Dan tidak boleh saling intervensi dan campur tangan sebab masing-masing memiliki kekhasan yang harus dirawat dan dihormati.

***

Zaman memang sudah berubah. Kesakralan Kiai dan pesantren sedang diuji di ruang terbuka—semua harus berbenah.

Hanya yang adaptif yang bisa kuat bertahan, …” Kata Steve Jobs, pendiri sekaligus mantan CEO Apple Inc, ringkas!

*) Penulis: Nurbani Yusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *