Teknologi yang Menyentuh Hati Manusia

Teknologi yang Menyentuh Hati Manusia

MAKLUMAT — Di zaman serba cepat dan terkoneksi seperti sekarang, kita sering mendengar istilah “digitalisasi” sebagai solusi untuk segala masalah. Mulai dari belanja, belajar, hingga interaksi sosial, semuanya bisa dilakukan lewat layar ponsel atau perangkat pintar.

Namun, di tengah ingar-bingar teknologi, muncul pertanyaan penting: dapatkah teknologi benar-benar menyentuh hati manusia? Apakah ia mampu membawa kita lebih dekat kepada nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, bukan hanya efisiensi dan produktivitas? Opini ini mencoba menelusuri bagaimana teknologi, ketika diarahkan dengan niat baik dan kesadaran etis, bisa menjadi jembatan ke relung hati manusia.

Nashrul Mu'minin.
Nashrul Mu’minin.

Teknologi sejatinya netral, yang menggerakkannya adalah manusia dan niatnya. Dalam Islam, setiap perbuatan dinilai dari niatnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan seseorang mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Kalau seseorang memanfaatkan teknologi untuk mendekatkan kepada Allah—misalnya menyebarkan kajian agama, membaca Al-Quran digital, atau menyebar kebaikan—maka aktivitas digitalnya bisa bernilai ibadah. Sebaliknya, jika teknologi digunakan untuk menyebarkan kebencian, hoaks, atau mengabaikan manusia di sekitar, maka ia bisa melemahkan nilai-nilai kemanusiaan dan iman.

Al-Quran pun mengajarkan kita agar teknologi dan segala pemberian Allah tidak disia-siakan. Allah Swt berfirman: “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, sebagai rahmat dari-Nya.” (QS. Al-Jatsiyah: 13)

Baca Juga  Muslim di Hongaria: Jalani Puasa 16 Jam dan Rayakan Idulfitri dengan Suka Cita

Ayat tersebut mengingatkan bahwa alam—termasuk teknologi yang diciptakan manusia dalam kerangka alam itu—adalah amanah yang harus digunakan untuk kemaslahatan. Teknologi tak boleh menjadi alat destruktif yang merusak moral, hubungan sosial, atau ruh manusia.

Salah satu tantangan terbesar era digital adalah “keseragaman pengalaman” yang justru bisa memiskinkan keberagaman pemikiran. Algoritma media sosial sering menampilkan konten yang “disukai”—menyempitkan perspektif dan memperkuat ego. Seseorang bisa tenggelam dalam gelembung digitalnya sendiri, tanpa bersentuhan dengan realitas yang berbeda. Padahal hati manusia tumbuh ketika ditempa dengan dialog, empati, dan keragaman. Ketika kita hanya melihat cermin diri kita sendiri secara digital, kita kehilangan jembatan menuju empati terhadap orang lain.

Tetapi bukan berarti teknologi tidak punya sisi positif. Justru sebaliknya, teknologi memiliki potensi besar untuk menyebarkan nilai positif dengan cepat. Aplikasi membaca Al-Quran, podcast keagamaan, kajian daring, infografis dakwah, hingga komunitas virtual bisa menyebarkan inspirasi kepada ribuan orang dalam sekejap. Dengan satu unggahan yang syar’i dan bijak, seseorang mungkin menyentuh hati orang lain, membangunkan kesadaran, atau bahkan menggugah iman. Dalam kondisi di mana orang tidak bisa bertatap muka, teknologi menjadi jembatan spiritual.

Jalan agar teknologi benar-benar menyentuh hati adalah dengan memasukkan unsur kejujuran, keikhlasan, dan empati dalam setiap konten. Jangan sekadar mencari klik, tetapi mencari manfaat. Ketika niatnya tulus untuk memberi manfaat kepada sesama, maka hasilnya bukan sekadar viral atau populer, tetapi berdampak pada qalbu manusia. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Baca Juga  Urgensi Muhammadiyah Ada dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran

Dalam konteks digital, ini mengingatkan bahwa jumlah pengikut, jumlah like, atau banyaknya komentar tidaklah menjadi ukuran utama. Yang dilihat Allah adalah pengorbanan batin, kerendahan hati, dan kebaikan yang tulus.

Pendidikan digital juga perlu diarahkan agar generasi muda tidak menjadi konsumen pasif, melainkan produsen yang sadar dan beradab. Keterampilan literasi media tidak cukup, mereka harus dibekali adab bermedia—bagaimana menyapa dengan sopan, tidak menyebar hoaks, menghormati institusi, dan membela kebenaran tanpa memecah belah. Tanpa adab, teknologi hanya menjadi senjata, bukan sarana mendidik hati.

Minggu Digital mesti menjadi momentum refleksi kolektif: apakah kita sudah mengendalikan teknologi, atau justru dikuasai olehnya? Bukan hanya soal gadget, aplikasi, atau platform, melainkan soal relasi manusia: dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan Sang Pencipta. Dalam keseharian, saat kita memilih untuk berhenti scrolling sejenak dan berdoa, atau ketika kita membagikan sesuatu yang memotivasi daripada menyerang, kita sedang memanifestasikan hati yang tersentuh teknologi—bukan hati yang dibutakan olehnya.

Akhirnya, jika Minggu Digital ini dijalani dengan kesadaran bahwa manusia mesti tetap menjadi subjek, bukan objek teknologi, maka kita telah menyambut masa depan yang manusiawi. Teknologi bukan untuk mengurangi kehangatan manusia, tapi untuk memperluas sayap kasih sayang. Semoga teknologi menyentuh hati kita, bukan hanya jari-jari kita di layar.

*) Penulis: Nashrul Mu'minin
Content Writer Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *