MAKLUMAT – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir akhirnya angkat bicara soal polemik yang menyeret Trans 7 dan kalangan pondok pesantren. Ia meminta kasus ini dijadikan momentum bagi semua pihak—baik media, lembaga keagamaan, maupun masyarakat—untuk berkaca dan sama-sama berbenah.
Menurut Haedar, kebebasan berekspresi bukanlah tanpa batas. Ada koridor moral, etika, dan tanggung jawab sosial yang harus dijaga agar tidak memicu keresahan dan perpecahan di tengah masyarakat. Ia menekankan pentingnya setiap pihak, termasuk media massa dan warganet, untuk menggunakan kebebasan dengan bijak serta mengedepankan nilai-nilai keadaban publik.
Secara khusus, Haedar meminta media dan semua elemen bangsa untuk menaruh hormat kepada para Kiai dan Pondok Pesantren. Sebab, lembaga-lembaga tersebut memiliki jasa besar dalam mencerdaskan umat, menjaga moral bangsa, serta menanamkan nilai-nilai kebangsaan.
Meski begitu, Haedar menegaskan bahwa penghormatan itu bukan berarti antikritik. “Penghormatan itu bukan berarti menutup ruang kritik, tetapi menempatkannya dalam koridor yang santun, objektif, dan membangun,” tegasnya.
Pesan tajam juga ia layangkan kepada warganet dan para pelaku media digital agar menahan diri dan tidak memperkeruh suasana dengan komentar provokatif.
“Kami harapkan juga media sosial harus cooling down kalau ada masalah. Jangan sampai istilahnya, kolamnya keruh tapi ikannya tidak dapat,” pesan Haedar ketika ditemui awak media selepas membuka Rakornas Rektor PTMA di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada Kamis (16/10/2025).
Di akhir, Haedar juga mendorong agar lembaga-lembaga kemasyarakatan dan keagamaan terus meningkatkan kualitas internal. “Tujuannya agar memperoleh kepercayaan di masyarakat, sehingga bisa memberi sumbangan terbaik untuk bangsa dan negara,” pungkasnya.***